Selasa, 17 Desember 2024

No Viral, No Justice: Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

 


Fenomena “no viral, no justice” mencerminkan kondisi memprihatinkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era digital, media sosial menjadi alat untuk menyuarakan ketidakadilan. Namun, kenyataan bahwa keadilan sering kali bergantung pada seberapa viral sebuah kasus menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem hukum. Dalam esai ini, kita akan menganalisis akar permasalahan ini dan dampaknya terhadap masyarakat serta mencari solusi yang relevan untuk mengatasinya.

Keadilan yang Bergantung pada Popularitas

Di banyak kasus, perhatian publik melalui media sosial telah menjadi katalisator untuk mendorong tindakan hukum. Beberapa contoh nyata menunjukkan bahwa kasus-kasus yang mendapat sorotan luas cenderung diproses lebih cepat oleh aparat penegak hukum. Sayangnya, ini menciptakan persepsi bahwa hukum tidak lagi berjalan berdasarkan prinsip keadilan, melainkan atas dasar tekanan sosial. Korban yang tidak memiliki akses ke platform digital atau yang kasusnya tidak cukup “menjual” di mata publik sering kali tidak mendapatkan perhatian yang sama. Akibatnya, sistem hukum menjadi diskriminatif, membatasi akses keadilan hanya bagi mereka yang mampu menarik simpati massa.

Kelemahan Institusi Penegakan Hukum

Fenomena ini mencerminkan lemahnya integritas institusi hukum di Indonesia. Idealnya, hukum seharusnya berjalan independen, berdasarkan fakta dan aturan yang berlaku, bukan berdasarkan opini publik. Namun, kurangnya transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum merosot tajam. Masyarakat merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan adalah melalui tekanan massa, bukan melalui mekanisme hukum yang ada.

Dampak Sosial dan Psikologis

Ketergantungan pada viralitas untuk mendapatkan keadilan memiliki dampak sosial yang luas. Pertama, masyarakat cenderung memandang media sosial sebagai ruang pengadilan alternatif. Hal ini mengaburkan batas antara opini publik dan keputusan hukum yang seharusnya berbasis fakta. Kedua, korban dan pelaku bisa mengalami peradilan oleh massa (trial by the crowd), yang sering kali tidak adil dan melanggar asas praduga tak bersalah. Ketiga, fenomena ini berpotensi memicu rasa frustrasi dan ketidakberdayaan bagi mereka yang kasusnya tidak mendapat perhatian publik.

Mencari Solusi

Untuk mengatasi fenomena “no viral, no justice,” diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem hukum. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  1. Peningkatan Transparansi: Institusi hukum harus lebih terbuka dalam menangani kasus, termasuk memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang proses dan perkembangan kasus.
  2. Peningkatan Profesionalisme Aparat Hukum: Pelatihan yang berkelanjutan dan pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan mereka menjalankan tugas dengan integritas.
  3. Penguatan Sistem Pengawasan: Dibutuhkan mekanisme pengawasan independen untuk memantau kinerja aparat penegak hukum dan memastikan bahwa mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.
  4. Pendidikan Hukum untuk Publik: Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum agar tidak sepenuhnya bergantung pada media sosial sebagai sarana mencari keadilan.
  5. Pemanfaatan Teknologi secara Profesional: Media sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hukum, tetapi penggunaannya harus diatur agar tidak menciptakan ketergantungan pada viralitas.

Penutup

Fenomena “no viral, no justice” menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sedang menghadapi krisis legitimasi. Ketergantungan pada viralitas sebagai alat untuk mendapatkan keadilan tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga menciptakan ketidakadilan baru. Diperlukan upaya kolektif dari semua pihak — pemerintah, institusi hukum, media, dan masyarakat — untuk memastikan bahwa keadilan tidak lagi menjadi barang dagangan popularitas. Hukum harus kembali pada prinsip utamanya: memberikan keadilan tanpa memandang siapa yang lebih nyaring bersuara.

Tidak ada komentar: