Tampilkan postingan dengan label nilai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nilai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 September 2025

Renungan tentang Nilai, Etika, dan Masa Depan

Bulan September ini mata saya tertuju pada sebuah berita dari Kyoto. Jepang yang sunyi, penuh kuil dan taman batu, ternyata menjadi panggung pertemuan dunia pemikiran. Kyoto Conference 2025 diselenggarakan untuk pertama kalinya, dengan tema yang sangat ambisius:

Realizing a Multilayered Society of Values.”

Di sana, para filsuf bertemu dengan orang-orang yang biasanya tidak kita bayangkan berada dalam ruang yang sama: pemimpin bisnis, pejabat pemerintah, rohaniwan, pakar teknologi, seniman, dan aktivis sosial. Saya membayangkan sebuah ruang konferensi modern di tengah kota tua Kyoto, di mana diskusi tentang nilai dan etika berlangsung bersamaan dengan hiruk pikuk kota, suara kereta, dan aroma matcha yang menenangkan.

Yang menarik adalah inti gagasan konferensi ini:
masyarakat masa depan tidak bisa lagi ditopang oleh satu sistem nilai saja.
Dunia menjadi terlalu kompleks, terlalu berlapis.

Ada nilai agama, ada nilai pasar, ada nilai komunitas, ada nilai ilmiah, ada nilai budaya, dan yang terbaru: nilai yang lahir dari teknologi dan kecerdasan buatan.

Selama membaca laporan konferensi ini, saya sering bertanya pada diri sendiri:

“Apakah kita benar-benar siap hidup dalam masyarakat di mana manusia dan mesin saling mempengaruhi moral satu sama lain?”

Itu bukan pertanyaan kecil.
Banyak dari kita masih berdebat tentang media sosial dan polarisasi, sementara para ahli sudah berbicara tentang AI yang bisa membuat keputusan moral.

Jika sebelumnya kita bertanya:
“Apakah robot bisa berpikir?”

Kini pertanyaannya berubah menjadi:
“Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan robot — kita, atau algoritma itu sendiri?”

Saya tersenyum getir membaca salah satu ringkasannya: ketika seorang CEO bertanya kepada seorang filsuf,
“Bagaimana kita menyeimbangkan efisiensi bisnis dengan martabat manusia?”
jawabannya tidak mudah, tetapi suara-suara itu perlu didengar.

Saya membayangkan, jika Socrates masih hidup, mungkin ia akan hadir di konferensi itu, berjalan pelan, mengajukan pertanyaan, bukan memberi jawaban.
Dalam dunia yang ramai, di mana data berlari lebih cepat dari nurani, mungkin yang kita butuhkan adalah ruang untuk berpikir.

Konferensi Kyoto memberi saya harapan.
Bahwa filsafat bukan sekadar teks di perpustakaan.
Bahwa ia masih dipanggil untuk merespons zaman:
krisis nilai, polarisasi, perubahan sosial, dan wajah baru kemanusiaan.

Dari jauh, saya merasa ikut menjadi bagian percakapan itu.
Bukan karena saya seorang akademisi, tapi karena saya juga hidup di masyarakat yang berubah setiap hari.
Di rumah sakit tempat saya bekerja, teknologi menentukan alur kerja, tetapi empati masih menentukan hasilnya.
Di pasar, algoritma menentukan harga, tetapi kejujuran masih menentukan rezeki.

Mungkin itu maksud konferensi ini:
masyarakat berlapis nilai bukan ancaman,
tetapi peluang untuk saling memahami.

Saya menutup catatan ini dengan satu kesan pribadi:

Filsafat yang hidup adalah filsafat yang mau keluar rumah, menyapa dunia, dan mendengarkan suara semua orang — bukan hanya mereka yang membaca buku-buku tebal.

Kyoto 2025 bukan sekadar konferensi.
Ia adalah panggilan untuk menyatukan hati dan pikiran di tengah kerumitan zaman.

Dan saya rasa, itu adalah kabar baik.