Tampilkan postingan dengan label palestina. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label palestina. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Oktober 2025

NU, Palestina, dan Pertarungan Gagasan di Panggung Global

 Di penghujung 2025, pernyataan Nahdlatul Ulama tentang Palestina menarik perhatian saya. Dalam sebuah rilis, PBNU menegaskan bahwa komunitas internasional “harus melihat Palestina sebagai satu negara kesatuan”, sambil mengkritik kerangka solusi dua-negara yang dinilai gagal jika tidak didahului oleh pengakuan terhadap keutuhan bangsa Palestina.

Bagi saya, ini bukan sekadar komentar politik. Ada pandangan moral, pengalaman sejarah, dan cara NU membaca dunia yang hadir bersamaan.

NU berada di persimpangan: di satu sisi, secara diplomatik bersama pemerintah Indonesia, NU masih menyebut solusi dua-negara sebagai jalan resmi yang paling realistis untuk kemerdekaan Palestina. Di sisi lain, NU memberi tekanan moral bahwa “dua-negara” tidak boleh menjadi jargon tanpa keadilan. Maka ia mengirim pesan: sebelum bicara formula, kita harus bicara manusia, hak hidup, dan martabat.

Dua bahasa, satu horizon

Sebagian orang mungkin melihat pernyataan NU itu kontradiktif: bagaimana mungkin mendukung dua-negara, tetapi juga menyerukan pengakuan atas satu kesatuan Palestina?

Bagi saya, tidak juga. NU justru berusaha merangkul keduanya:

  • Secara moral, Palestina adalah bangsa yang satu, dengan sejarah, identitas, dan luka yang tidak bisa disobek.

  • Secara diplomatik, solusi dua-negara tetap menjadi bahasa yang dipahami dunia internasional — pintu untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan.

NU mencoba menyebut apa yang tidak mau disebutkan banyak aktor global: bahwa “dua-negara” bisa menjadi kata kosong jika kenyataan di lapangan tidak berubah. Jika kekerasan berkepanjangan terus dibiarkan, jika warga sipil tidak diproteksi, jika pengusiran dan blokade dianggap normal, lalu apa arti sebuah formula?

Inilah yang saya rasa NU ingin katakan:
keadilan harus didahulukan, bukan hanya desain politik di atas meja.

Antara idealisme dan realisme

Saya memperhatikan bahwa banyak negara di dunia tetap bertahan pada solusi dua-negara, bukan karena itu menjamin keadilan, tapi karena itu satu-satunya formula yang masih bisa diucapkan tanpa menimbulkan kegaduhan diplomatik.

Namun NU, dengan bahasa agamanya, menggeser fokus ke dasar filosofis: Palestina bukan sekadar soal perbatasan. Palestina adalah soal kemanusiaan.

Ada resonansi yang kuat di sini. Saya melihatnya sebagai kelanjutan dari tradisi NU yang panjang: menempatkan manusia sebagai pusat. Dalam politik lokal, dalam soal kemiskinan, dalam isu budaya, sampai pada tragedi Gaza.

Ketika utusan Palestina datang ke kantor PBNU tahun ini, isu yang dibahas bukan hanya geo-politik. Ada tiga hal yang mendasar: penolakan relokasi warga Gaza, kebutuhan perlindungan sipil, dan penghentian kekerasan. Ini menunjukkan bahwa NU bergerak pada wilayah kemanusiaan lebih dulu, baru politik.

Gema di dalam negeri

Pernyataan NU tidak hanya punya makna luar negeri. Di dalam negeri, ia mempengaruhi perasaan dan arah gerakan sosial. Solidaritas untuk Palestina di Indonesia sangat kuat. Ada potensi moral yang tinggi, tetapi juga ada emosi yang mudah tersulut.

Sikap NU yang relatif moderat — mengusung keadilan tanpa retorika ekstrem — memberi keseimbangan.

NU menolak normalisasi hubungan tanpa keadilan, namun juga tidak berdiri pada posisi perang atau permusuhan membabi buta. Ia menjaga jarak yang sehat, sekaligus menunjukkan empati.

Dalam hal ini, NU memainkan fungsi “penyangga” yang penting di tengah polarisasi. Ia menciptakan ruang aman di mana kita bisa punya suara terhadap Palestina, tanpa kehilangan akal sehat.

Catatan saya untuk ke depan

Akhir 2025 mengajarkan satu hal: konflik Palestina–Israel bukan hanya soal geopolitik. Ia adalah pertarungan nilai. NU, dengan suara agamanya, memberi satu kontribusi signifikan: mengembalikan konflik ini pada manusia.

Saya pikir posisi NU akan terus diuji. Akan ada kritik dari dua sisi:

  • dari yang menuntut sikap lebih keras, atau

  • dari yang menganggap seruan keadilan itu tidak realistis.

Tetapi mungkin ini memang peran yang paling tepat bagi NU: menjadi “suara waras” di tengah kegaduhan global — menjembatani idealisme moral dengan diplomasi nyata. Tidak mencari tepuk tangan, tetapi menawarkan kompas etika.

Di tengah dunia yang semakin bising, saya merasa ini justru relevan.

Karena pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting sederhana:
Bagaimana kita memperlakukan manusia?

Dan sepanjang sikap itu masih terjaga, ada alasan untuk tetap optimis.