Tampilkan postingan dengan label bencana alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bencana alam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Desember 2025

Banjir & Longsor Besar Sumatera Akhir 2025: Refleksi Singkat

Akhir tahun 2025 menjadi periode bencana besar di Sumatera. Hujan monsun ekstrem yang diperkuat badai tropis dari Samudra Hindia memicu banjir masif dan longsor di banyak wilayah — terutama di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat.

Curah hujan yang turun tanpa henti selama lebih dari tiga hari membuat sungai-sungai besar meluap dan tebing-tebing perbukitan runtuh. Beberapa daerah terisolasi karena jembatan dan jalan utama putus, sementara bandara kecil dan fasilitas publik ikut terendam.

Dampaknya sangat luas:

  • Ratusan korban jiwa dan ribuan orang hilang,

  • Jutaan warga terdampak,

  • Puluhan ribu rumah rusak,

  • Infrastruktur vital lumpuh.

Skala bencana diperparah oleh kondisi lingkungan yang sudah rapuh. Deforestasi, kerusakan DAS, dan hilangnya tutupan hutan membuat air hujan tak lagi terserap, sehingga banjir dan longsor terjadi lebih cepat dan lebih mematikan.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa meski Sumatera selama ini dikenal dengan ancaman gempa dan tsunami, kini bencana hidrometeorologi — banjir, longsor, dan badai — telah menjadi risiko besar akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Akhir 2025 menjadi alarm keras: tanpa perbaikan tata kelola lingkungan dan mitigasi yang lebih serius, bencana serupa bisa terjadi lagi dengan dampak yang lebih besar.

Minggu, 04 Mei 2025

Lumpur Panas dari Roburan Dolok: Catatan Kecil dari Pinggir Bencana

Akhir April 2025 itu terasa jauh lebih panas dari biasanya. Di Roburan Dolok, sebuah desa yang tampak tenang di lereng Panyabungan Selatan, bumi tiba-tiba membuka napasnya. Pada awalnya hanya satu titik lumpur panas, dikelilingi pagar seadanya oleh warga yang masih bingung apakah harus takut atau cukup berhati-hati. Namun beberapa hari kemudian, titik itu bertambah. Lalu bertambah lagi. Hingga pada laporan terakhir dari BNPB, ada 15 titik semburan yang aktif.

Sebagian orang menyebutnya “fenomena alam”. Sebagian lain bertanya pelan: alam yang mana? Yang murni natural, atau alam yang sudah kita ganggu berpuluh tahun?

Saya mengunjungi lokasi itu pada suatu pagi. Tidak ada suara keras seperti ledakan, tidak ada teater bencana yang dramatis. Yang ada hanyalah diam yang berbahaya: tanah yang mendesis, lumpur yang pelan tapi pasti merembes dari perut bumi, tumbuhan yang mati di sekitarnya, dan bau gas samar yang menusuk hidung. Di antara titik-titik semburan itu, saya melihat satu icu kecil: selembar daun pisang yang layu, warnanya kecoklatan, seperti terbakar dari bawah.

Narasi tentang bencana di daerah ini selalu berayun antara dua ekstrem: ketakutan dan kebiasaan. Kita takut — tentu saja. Tapi kita juga terbiasa. Gunung di sini hidup; bumi ini tidak pernah betul-betul tenang. Namun justru karena terbiasa itulah kita sering menunda pertanyaan penting.

Saya bertanya kepada diri sendiri:
Mengapa semburan itu muncul sekarang?
Apa yang berubah?
Dan siapa yang mengambil risiko terbesar?

Warga memberi jawaban sederhana:

“Kami hanya ingin hidup dengan aman, bertani, membesarkan anak.”

Tetapi wilayah ini tidak steril dari aktivitas industri. Ada pengeboran panas bumi, ada eksplorasi, ada pembangunan. Tidak semua semburan harus disalahkan pada proyek-proyek itu — tapi tidak juga bijak jika kita berpura-pura bahwa keduanya tidak saling bersentuhan.

Yang saya lihat dari dekat bukan hanya lumpur yang keluar dari tanah. Saya melihat kecemasan yang keluar dari wajah-wajah orang kampung. Mereka menghitung jarak rumah, mengukur arah angin, menebak apa yang akan terjadi jika salah satu titik semburan membesar.

Sementara itu, laporan teknis terus disusun. Ahli geologi berbicara dengan bahasa yang tenang. Birokrat mengeluarkan siaran pers. Ada rapat-rapat, ada survei, ada drone yang terbang di atas ladang.

Namun di bawah itu semua, ada pertanyaan moral:
Siapa yang bertanggung jawab menjaga yang rapuh?

Dalam banyak peristiwa di Mandailing Natal, saya melihat pola yang sama:

  • Bencana muncul,

  • perhatian datang,

  • bantuan turun,

  • lalu semuanya perlahan dilupakan.

Tetapi lumpur panas adalah pengingat bahwa bumi punya memori lebih panjang dari manusia. Yang hari ini berupa semburan kecil, esok bisa menjadi pergeseran besar. Di daerah yang hidup di antara gunung dan sungai, bencana bukan sekadar kejadian — ia adalah dialog yang belum selesai.

Ketika saya meninggalkan Roburan Dolok sore hari itu, matahari terang benderang. Dari jauh, tanah yang bergolak hampir tak terlihat. Desa tampak biasa saja. Anak-anak berlari di halaman, sapi merumput, dan asap dapur naik dari rumah-rumah. Tetapi di bawah tanah, sesuatu terus bergerak.

Dan dalam pikiran saya, hanya ada satu kalimat yang mengganggu:

“Kalau alam sudah berbicara, apakah kita siap mendengarkan?”

Rabu, 17 Oktober 2018

RSU Permata Madina Menyalurkan Bantuan untuk Korban Banjir Bandang Muara Saladi dan Banjir Pantai Barat Mandailing

Pada pertengahan Oktober 2018, Kabupaten Mandailing Natal kembali diuji oleh dua bencana besar sekaligus: banjir bandang di Muara Saladi dan banjir melanda wilayah Pantai Barat. Kedua peristiwa ini menimbulkan kerusakan luas, menelan korban jiwa, serta membuat ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal dan kebutuhan dasar.

Sebagai bagian dari komitmen kemanusiaan dan pelayanan publik, RSU Permata Madina Panyabungan menginisiasi gerakan solidaritas untuk membantu para korban yang terdampak. Seluruh jajaran rumah sakit — mulai dari manajemen, tenaga medis, hingga staf non-medis — terlibat aktif dalam pengumpulan bantuan.

Penggalangan Bantuan: Kolaborasi untuk Kemanusiaan

Proses pengumpulan bantuan dilakukan secara cepat dan terkoordinasi. Berbagai bentuk dukungan dikumpulkan, mulai dari:

  • Pakaian layak pakai

  • Sembako

  • Air mineral

  • Perlengkapan kebersihan

  • Obat-obatan dan kebutuhan medis dasar

  • Selimut serta perlengkapan bayi

Warga internal rumah sakit ikut memberikan donasi secara sukarela, dan beberapa relasi RSU Permata Madina turut berpartisipasi dalam menyediakan kebutuhan logistik tambahan.

Tim Pertama: Misi Kemanusiaan ke Muara Saladi (14 Oktober 2018)

Pada 14 Oktober 2018, RSU Permata Madina memberangkatkan tim pertama menuju Muara Saladi, daerah yang paling parah terdampak banjir bandang. Kondisi medan saat itu cukup sulit, dengan akses jalan yang licin dan beberapa bagian tertutup material banjir.

Tim membawa bantuan langsung ke titik-titik pengungsian, berkoordinasi dengan perangkat desa, petugas kecamatan, serta tim evakuasi yang berada di lokasi. Respons warga sangat haru dan bersyukur melihat bantuan yang datang di tengah situasi penuh ketidakpastian.

Selain menyerahkan bantuan logistik, tim medis rumah sakit juga memberikan pemeriksaan kesehatan ringan dan mendata kebutuhan obat-obatan yang diperlukan oleh warga terdampak.



Tim Kedua: Bantuan untuk Wilayah Pantai Barat (15 Oktober 2018)

Sehari setelah itu, pada 15 Oktober 2018, RSU Permata Madina memberangkatkan tim kedua menuju wilayah Pantai Barat Mandailing Natal, yang juga mengalami banjir cukup besar. Perjalanan menuju kawasan ini memerlukan waktu lebih panjang karena beberapa jalur terputus dan harus menggunakan rute alternatif.

Tim menyerahkan bantuan kepada posko-posko yang telah didirikan pemerintah dan para relawan di wilayah tersebut. Bantuan didistribusikan kepada keluarga yang rumahnya terendam dan kehilangan perlengkapan dasar.

Kehadiran tim dari RSU Permata Madina memberikan dukungan moral bagi warga yang masih dalam fase pemulihan dan trauma pascabencana.

Kepedulian yang Terus Dijaga

Aksi kemanusiaan ini menjadi bukti bahwa RSU Permata Madina tidak hanya hadir sebagai penyedia layanan kesehatan, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang siap turun tangan ketika bencana melanda. Semangat kebersamaan dari seluruh staf rumah sakit menunjukkan bahwa solidaritas merupakan kekuatan besar dalam membantu sesama.

Kami berharap bantuan yang disalurkan dapat meringankan beban para korban, dan semoga masyarakat Mandailing Natal segera bangkit serta pulih dari bencana ini.