Akhir April 2025 itu terasa jauh lebih panas dari biasanya. Di Roburan Dolok, sebuah desa yang tampak tenang di lereng Panyabungan Selatan, bumi tiba-tiba membuka napasnya. Pada awalnya hanya satu titik lumpur panas, dikelilingi pagar seadanya oleh warga yang masih bingung apakah harus takut atau cukup berhati-hati. Namun beberapa hari kemudian, titik itu bertambah. Lalu bertambah lagi. Hingga pada laporan terakhir dari BNPB, ada 15 titik semburan yang aktif.
Sebagian orang menyebutnya “fenomena alam”. Sebagian lain bertanya pelan: alam yang mana? Yang murni natural, atau alam yang sudah kita ganggu berpuluh tahun?
Saya mengunjungi lokasi itu pada suatu pagi. Tidak ada suara keras seperti ledakan, tidak ada teater bencana yang dramatis. Yang ada hanyalah diam yang berbahaya: tanah yang mendesis, lumpur yang pelan tapi pasti merembes dari perut bumi, tumbuhan yang mati di sekitarnya, dan bau gas samar yang menusuk hidung. Di antara titik-titik semburan itu, saya melihat satu icu kecil: selembar daun pisang yang layu, warnanya kecoklatan, seperti terbakar dari bawah.
Narasi tentang bencana di daerah ini selalu berayun antara dua ekstrem: ketakutan dan kebiasaan. Kita takut — tentu saja. Tapi kita juga terbiasa. Gunung di sini hidup; bumi ini tidak pernah betul-betul tenang. Namun justru karena terbiasa itulah kita sering menunda pertanyaan penting.
Warga memberi jawaban sederhana:
“Kami hanya ingin hidup dengan aman, bertani, membesarkan anak.”
Tetapi wilayah ini tidak steril dari aktivitas industri. Ada pengeboran panas bumi, ada eksplorasi, ada pembangunan. Tidak semua semburan harus disalahkan pada proyek-proyek itu — tapi tidak juga bijak jika kita berpura-pura bahwa keduanya tidak saling bersentuhan.
Yang saya lihat dari dekat bukan hanya lumpur yang keluar dari tanah. Saya melihat kecemasan yang keluar dari wajah-wajah orang kampung. Mereka menghitung jarak rumah, mengukur arah angin, menebak apa yang akan terjadi jika salah satu titik semburan membesar.
Sementara itu, laporan teknis terus disusun. Ahli geologi berbicara dengan bahasa yang tenang. Birokrat mengeluarkan siaran pers. Ada rapat-rapat, ada survei, ada drone yang terbang di atas ladang.
Dalam banyak peristiwa di Mandailing Natal, saya melihat pola yang sama:
-
Bencana muncul,
-
perhatian datang,
-
bantuan turun,
-
lalu semuanya perlahan dilupakan.
Tetapi lumpur panas adalah pengingat bahwa bumi punya memori lebih panjang dari manusia. Yang hari ini berupa semburan kecil, esok bisa menjadi pergeseran besar. Di daerah yang hidup di antara gunung dan sungai, bencana bukan sekadar kejadian — ia adalah dialog yang belum selesai.
Ketika saya meninggalkan Roburan Dolok sore hari itu, matahari terang benderang. Dari jauh, tanah yang bergolak hampir tak terlihat. Desa tampak biasa saja. Anak-anak berlari di halaman, sapi merumput, dan asap dapur naik dari rumah-rumah. Tetapi di bawah tanah, sesuatu terus bergerak.
Dan dalam pikiran saya, hanya ada satu kalimat yang mengganggu:
“Kalau alam sudah berbicara, apakah kita siap mendengarkan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar