Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

Kenaikan PPN 12 Persen: Pola Kolonial dalam Kebijakan Modern?


Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan pemerintah menuai polemik di tengah masyarakat. Kebijakan ini, meskipun diklaim sebagai langkah untuk memperkuat keuangan negara, justru menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan siapa yang paling dirugikan. Dalam konteks ini, kritik terhadap kebijakan tersebut tak ubahnya mengingatkan kita pada pola-pola eksploitasi di era kolonial: rakyat kecil yang diperas demi kenyamanan segelintir elit.

Beban Berat bagi Rakyat Kecil

PPN adalah pajak yang bersifat regresif. Artinya, pajak ini dikenakan pada semua orang tanpa memandang tingkat penghasilan. Bagi masyarakat kelas bawah yang pendapatannya mayoritas habis untuk kebutuhan dasar, kenaikan PPN berarti pengeluaran sehari-hari mereka semakin membengkak. Misalnya, harga bahan makanan, obat-obatan, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya akan meningkat, sementara pendapatan mereka tetap stagnan. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun, dan kesenjangan sosial semakin melebar.

Di sisi lain, kalangan menengah ke atas yang memiliki surplus pendapatan relatif lebih mampu menanggung dampak kenaikan PPN. Bahkan, mereka cenderung tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, terutama jika penghasilan mereka berasal dari investasi atau sektor yang tidak langsung terpengaruh oleh kenaikan pajak konsumsi.

Siapa yang Diuntungkan?

Kenaikan PPN sering kali dibenarkan dengan alasan peningkatan penerimaan negara untuk mendanai pembangunan. Namun, apakah benar seluruh hasil penerimaan pajak tersebut digunakan untuk kepentingan publik? Dalam praktiknya, sering kali kebijakan fiskal lebih menguntungkan sektor korporasi besar, terutama melalui insentif pajak dan subsidi. Hal ini menciptakan paradoks: rakyat kecil membayar lebih banyak, sementara mereka yang sudah memiliki kekayaan besar mendapatkan keuntungan tambahan.

Jika kita menengok sejarah, pola ini tidak jauh berbeda dengan sistem kolonial di masa lampau. Kala itu, pajak dan eksploitasi sumber daya diterapkan demi kepentingan penjajah, sementara rakyat pribumi hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan segelintir penguasa. Hari ini, meskipun konteksnya berbeda, esensinya tetap sama: kebijakan yang membebani mayoritas rakyat untuk menguntungkan minoritas yang memiliki kuasa.

Alternatif Kebijakan yang Lebih Adil

Untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, pemerintah perlu mempertimbangkan reformasi menyeluruh. Salah satunya adalah dengan menggeser beban pajak dari konsumsi ke penghasilan dan kekayaan. Pajak progresif, seperti pajak atas penghasilan tinggi, properti mewah, atau keuntungan modal, dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih besar berkontribusi lebih banyak. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan pajak harus ditingkatkan agar rakyat percaya bahwa uang yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama.

Kesimpulan

Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah kebijakan yang perlu dikritisi karena dampaknya yang tidak proporsional terhadap masyarakat kecil. Kebijakan ini mencerminkan pola eksploitasi yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah, bukan realitas masa kini. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa keadilan sosial menjadi inti dari setiap kebijakan fiskal, sehingga rakyat kecil tidak lagi menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pembangunan nasional. Pajak bukan sekadar angka; ia adalah cerminan dari nilai-nilai keadilan yang dipegang oleh sebuah bangsa.

Jumat, 06 September 2024

Kolonialisme Domestik

Kolonialisme domestik merujuk pada situasi di mana satu kelompok atau wilayah dalam suatu negara mengeksploitasi dan mendominasi kelompok atau wilayah lainnya. Biasanya, kelompok yang dominan ini memiliki kekuatan ekonomi, politik, atau militer yang lebih besar, dan menggunakan kekuatan tersebut untuk mengendalikan sumber daya, hak, dan kesempatan dari kelompok yang lebih lemah. Meskipun biasanya kolonialisme mengacu pada penguasaan oleh bangsa asing, dalam konteks domestik, ini terjadi di dalam perbatasan negara itu sendiri.

Beberapa karakteristik utama dari kolonialisme domestik meliputi:

Eksploitasi sumber daya lokal: Kelompok atau wilayah yang dominan seringkali mengeksploitasi sumber daya alam dari wilayah yang lebih lemah untuk keuntungan mereka sendiri, tanpa memberikan imbalan yang adil.

Marjinalisasi politik: Kelompok yang terdominasi sering kali tidak memiliki akses yang adil ke kekuasaan politik, sehingga suara mereka tidak didengar dalam pengambilan keputusan penting.

Diskriminasi sosial dan ekonomi: Wilayah atau kelompok yang didominasi seringkali berada dalam kondisi sosial-ekonomi yang lebih rendah, dengan akses terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.

Dalam beberapa pandangan, kolonialisme domestik dapat dilihat di negara-negara besar di mana ada ketimpangan yang signifikan antara wilayah atau kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, ada tudingan bahwa beberapa kebijakan pembangunan yang tidak adil, eksploitasi sumber daya alam, serta ketidaksetaraan sosial dan ekonomi terhadap wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara bisa dianggap sebagai bentuk kolonialisme domestik.

Situasi saat ini: Di banyak negara, masih terlihat pola ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, antara wilayah kaya dan miskin, serta antara kelompok-kelompok etnis atau suku tertentu. Pemerintah atau kelompok elit di pusat kekuasaan seringkali memonopoli sumber daya, meninggalkan daerah terpencil dan kelompok minoritas dalam kemiskinan dan kekurangan. Misalnya, dalam konteks Indonesia, beberapa orang melihat adanya ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, terutama di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Papua, yang seringkali dilihat sebagai contoh kolonialisme domestik.

Dengan adanya ketimpangan ini, sebagian orang melihat bahwa kolonialisme domestik masih terjadi dalam bentuk eksploitasi dan ketidakadilan yang terjadi di dalam negeri sendiri, meskipun dalam wujud yang terselubung.

Sabtu, 01 Juni 2024

Hasil Bumi dan Keuntungan bagi Indonesia

 

Setelah beberapa kali membaca berita dan artikel di media massa, saya mulai merenungkan tentang hasil bumi yang memberikan penghasilan besar bagi Indonesia. Pikiranku melayang ke perkebunan kelapa sawit, yang seakan menjadi simbol kekuatan ekonomi negara kita. Saya membayangkan hamparan hijau yang luas, pohon-pohon sawit yang menjulang, dan tangan-tangan petani yang sibuk memanen buah-buah merah. Rasanya, kelapa sawit adalah raja tak resmi hasil bumi Indonesia, menopang ekspor dan perekonomian negara.

Namun, pikiranku tak berhenti di situ. Ada juga cerita tentang batubara. Seolah-olah setiap bongkahan hitam yang digali dari perut bumi adalah nyawa bagi industri energi dunia. Saya membaca bahwa Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar batubara, dan saya bertanya-tanya, apakah ini berkah atau beban? Di satu sisi, batubara mendatangkan devisa, tetapi di sisi lain, ada bayangan polusi dan dampak lingkungan yang mengintai.

Di sela-sela membaca, saya juga menemukan kabar tentang nikel. Ah, nikel, si logam abu-abu yang menjadi bintang baru perekonomian. Katanya, ini adalah masa depan dunia, bahan utama untuk baterai kendaraan listrik. Ada kebanggaan saat tahu bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Tapi, di balik itu, saya bertanya-tanya: bagaimana nasib ekosistem kita jika terus-menerus dieksploitasi?

Pikiranku juga singgah pada tanaman-tanaman seperti karet, kopi, dan kakao. Saya membayangkan petani-petani di desa yang bekerja keras, menoreh pohon karet di pagi hari, atau memetik biji kopi dan kakao dengan hati-hati. Hasil kerja keras mereka tak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga melanglang buana ke berbagai penjuru dunia. Saya merasa ada keindahan dan romantika tersendiri dalam komoditas ini – hasil bumi yang membawa nama Indonesia harum di pasar internasional.

Namun, saya juga sadar, di balik cerita-cerita kesuksesan ini, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Bagaimana menjaga keberlanjutan alam, menyeimbangkan eksploitasi dan pelestarian, serta memastikan bahwa kesejahteraan para petani dan pekerja juga diperhatikan? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengusik pikiranku.

Akhirnya, saya menyadari bahwa hasil bumi bukan hanya tentang angka-angka besar dalam laporan ekonomi atau grafik ekspor yang menanjak. Ini juga tentang manusia, lingkungan, dan masa depan. Indonesia memang kaya, tapi tugas kita adalah menjaga agar kekayaan ini tidak menjadi pedang bermata dua. Itulah pelajaran terbesar yang saya dapatkan dari membaca berita-berita tentang hasil bumi Indonesia.

Sabtu, 13 November 2021

Batalkan Kenaikan PPN

Tahun depan, tarif PPN (pajak pertambahan nilai) yang biasanya dibayar waktu kita beli makanan, kendaraan atau rumah bakal naik.


Walaupun naik ‘cuma’ dari 10% ke 11%, pajak ini bakal menambah harga barang-barang, termasuk barang-barang rumahan.

Memang sih, supaya perekonomian tumbuh, harus ada kenaikan harga sedikit. Tapi setelah dihitung-hitung, naiknya bisa sampai 4-5%. Emangnya, masyarakat nanti sanggup?

Di kondisi ekonomi seperti saat ini, semua terdampak pandemi, orang-orang lagi susah.

Kalau pemerintah emang mau pemasukan tambahan, kenapa gak menaikkan PPH orang berpenghasilan tinggi, efisiensi anggaran, menutup kebocoran dan menambah basis jumlah wajib pajak?

Semoga pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN.

Jangan membebani rakyat kecil. Apalagi masih ada banyak cara untuk tambah pendapatan yang gak menyulitkan orang-orang yang udah susah.

Senin, 05 Oktober 2020

Resesi dan Cara Menghadapinya

 


Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan Indonesia masuk ke jurang resesi tahun ini.

Resesi ekonomi 2020 menjadi momok menakutkan bagi dunia. Resesi menjadi ancaman besar yang sulit dihindari Indonesia imbas dari pandemi virus covid-19.

Apa itu resesi?

Dalam ekonomi makro, resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi. Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi (economy collapse).

 Apa yang harus dilakukan?

Dikutip dari laman Liputan6.com dan dari berbagai sumber, inilah hal yang harus dilakukan saat resesi melanda, apa saja ya?

Singkirkan utang

Bagian utama dari melindungi diri jika terjadi resesi adalah melunasi utang. Jika memungkinkan, segera lunasi semua utang. Namun jika tida, lunasi sebanyak yang Anda bisa. Utang tersebut di antaranya berupa kartu kredit, pinjaman, hutang medis atau jenis pembiayaan lainnya.

Saat resesi, tidak menutup kemungkinan akan kehilangan pekerjaan dan nilai investasi yang turun. Tentu Anda akan disibukan dengan pengelolaan keuang jika terjadi penurunan pendapatan. Oleh karenanya, tanggungan utang saat resesi bisa memperburuk kondisi keuangan Anda.

Pantau pengeluaran dan kencangkan anggaran

Langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memisahkan kebutuhan dari keinginan. Dengan cara ini, Anda akan lebih mudah menghemat uang untuk hal yang tidak penting. Mereka yang memiliki kesempatan untuk memotong pengeluaran akan lebih mampu menghindari kemunduran selama masa sulit.

Siapkan dana darurat berupa uang tunai

Saat resesi terjadi, mungkin akan lebih sulit mencari pekerjaan baru untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Sehingga dana darurat perlu disiapkan untuk meghadapi segala kemungkinan.

Dana darurat berbentuk uang tunai penting dipersiapkan guna mencegah masalah keuangan. Pentingnya dana darurat ini akan terasa apabila terjadi kejadian yang tidak diinginkan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jadi mulailah untuk menjual barang yang sudah tidak digunakan. Serta berhenti membeli barang atau berlangganan layanan yang dirasa tidak terlalu dibutuhkan. Alihkan uang tersebut untuk dana darurat Anda.

Terus membangun jaringan

Untuk memastikan Anda terlindungi jika ekonomi turun, maka jangan lupa untuk terus membuat koneksi profesional baru. Misalnya, suatu ketika Anda datang ke sebuah acara dan memberi kartu nama ke seseorang. Bisa jadi orang itulah yang bisa membantu Anda terkait pekerjaan saat masa resesi. Bukankah kita tidak pernah tau siapa dan darimana bantuan akan datang? Oleh karenanya, teruslah membangun jaringan baru dengan orang lain.

Bisnis sampingan

Bisnis sampingan baik online maupun offline bisa membantu Anda untuk mendapat penghasilan tambahan atau bahkan tabungan. Kelebihan lainnya, pemasukan dari bisnis sampingan tersebut akan sangat membantu jika sewaktu-waktu harus kehilangan pekerjaan.

Mulai berinvestasi

Investasi merupakan tabungan jangka panjang. Investasi ini sama pentingnya dengan dana darurat. Jika dana darurat nantinya tidak bisa menutup kekurangan keuangan, tabungan investasi bisa digunakan. Daripada harus menjual barang-barang saat membutuhkan biaya, baiknya mulai alihkan uang tunai Anda untuk berinvestasi.

Anda tidak perlu panik ketika pasar saham mulai turun. Sebaliknya mengambil beberapa saham lagi dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan ketika segala sesuatunya mulai membaik lagi. Namun ingat, perhatikan terlebih dahulu kabar ekonomi terkini dan lakukan riset sederhana saat hendak memutuskan untuk berinvestasi.

Membangun aset intelektual

Selain mengelola keuangan, aset intelektual ini juga sangat berguna saat terjadi resesi. Saat Anda memiliki kemampuan lebih, baik dibidang yang sedang digeluti saat ini atau dibidang yang berbeda, akan sangat menguntungkan diri sendiri nantinya. Anda bisa memperoleh beragam kemampuan lebih dengan mengikuti kursus, pelatihan atau seminar.

Minggu, 23 Agustus 2020

Target Ambisius Ekonomi 2021


PEMERINTAH mempertahankan kebijakan defisit anggaran di atas 3 persen dari produk domestik bruto pada 2021 sebagai kelanjutan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional. Belanja digenjot untuk mendorong target pertumbuhan ekonomi yang dipatok di kisaran 4,5-5,5 persen. 

Apakah target ini tidak terlalu ambisiu di tengah masih lesunya konsumsi masyarakat, investasi, dan belanja negara saat ini?

Senin, 27 Juli 2020

Selamatkan PLN atau Regulasi Listrik Nasional?



Bukan sekadar PLN yg perlu diselamatkan tapi regulasi listrik nasional. bagaimana misalnya jika dihapus monopoli PLN, biarkan swasta dan asing masuk agar tercipta persaingan yg sehat sehingga konsumen diuntungkan karena bisa memilih yg paling baik dan paling murah? Apakah itu mungkin?

https://kumparan.com/kumparanbisnis/nasib-pln-utang-menggunung-dan-terancam-kolaps-1tsS2HG1fCf?utm_source=kumDesktop&utm_medium=copy-to-clipboard&utm_campaign=share&shareID=OPMn4B1xB8JZ

Jumat, 21 Mei 2010

Mazhab Ekonomi Pancasila kemana?

 "... Kita butuh sebuah negara yang aktif dan demokratis seperti tuntutan konstitusi UUD 1945 serta mazhab ekonomi yang lebih bertanggung jawab tidak hanya terciptanya stabilitas makro ekonomi, tapi terutama relasi terhadap terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial." (Didin SD, MI, 20/05/2010). 

Lalu.. Mazhab Ekonomi Pancasila itu kemana? Gagal atau tidak diamalkan?