Kenaikan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan pemerintah
menuai polemik di tengah masyarakat. Kebijakan ini, meskipun diklaim sebagai
langkah untuk memperkuat keuangan negara, justru menimbulkan pertanyaan
mendasar tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan siapa yang paling dirugikan.
Dalam konteks ini, kritik terhadap kebijakan tersebut tak ubahnya mengingatkan
kita pada pola-pola eksploitasi di era kolonial: rakyat kecil yang diperas demi
kenyamanan segelintir elit.
Beban Berat bagi Rakyat Kecil
PPN
adalah pajak yang bersifat regresif. Artinya, pajak ini dikenakan pada semua
orang tanpa memandang tingkat penghasilan. Bagi masyarakat kelas bawah yang
pendapatannya mayoritas habis untuk kebutuhan dasar, kenaikan PPN berarti
pengeluaran sehari-hari mereka semakin membengkak. Misalnya, harga bahan
makanan, obat-obatan, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya akan meningkat,
sementara pendapatan mereka tetap stagnan. Akibatnya, daya beli masyarakat
menurun, dan kesenjangan sosial semakin melebar.
Di
sisi lain, kalangan menengah ke atas yang memiliki surplus pendapatan relatif
lebih mampu menanggung dampak kenaikan PPN. Bahkan, mereka cenderung tetap
mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, terutama jika penghasilan mereka
berasal dari investasi atau sektor yang tidak langsung terpengaruh oleh
kenaikan pajak konsumsi.
Siapa yang Diuntungkan?
Kenaikan
PPN sering kali dibenarkan dengan alasan peningkatan penerimaan negara untuk
mendanai pembangunan. Namun, apakah benar seluruh hasil penerimaan pajak
tersebut digunakan untuk kepentingan publik? Dalam praktiknya, sering kali
kebijakan fiskal lebih menguntungkan sektor korporasi besar, terutama melalui
insentif pajak dan subsidi. Hal ini menciptakan paradoks: rakyat kecil membayar
lebih banyak, sementara mereka yang sudah memiliki kekayaan besar mendapatkan
keuntungan tambahan.
Jika
kita menengok sejarah, pola ini tidak jauh berbeda dengan sistem kolonial di
masa lampau. Kala itu, pajak dan eksploitasi sumber daya diterapkan demi
kepentingan penjajah, sementara rakyat pribumi hanya menjadi alat untuk
memenuhi kebutuhan segelintir penguasa. Hari ini, meskipun konteksnya berbeda,
esensinya tetap sama: kebijakan yang membebani mayoritas rakyat untuk
menguntungkan minoritas yang memiliki kuasa.
Alternatif Kebijakan yang Lebih Adil
Untuk
menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, pemerintah perlu
mempertimbangkan reformasi menyeluruh. Salah satunya adalah dengan menggeser
beban pajak dari konsumsi ke penghasilan dan kekayaan. Pajak progresif, seperti
pajak atas penghasilan tinggi, properti mewah, atau keuntungan modal, dapat
menjadi solusi untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih
besar berkontribusi lebih banyak. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas
dalam penggunaan pajak harus ditingkatkan agar rakyat percaya bahwa uang yang
mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama.
Kesimpulan
Kenaikan
PPN menjadi 12 persen adalah kebijakan yang perlu dikritisi karena dampaknya
yang tidak proporsional terhadap masyarakat kecil. Kebijakan ini mencerminkan
pola eksploitasi yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah, bukan realitas
masa kini. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa
keadilan sosial menjadi inti dari setiap kebijakan fiskal, sehingga rakyat
kecil tidak lagi menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pembangunan
nasional. Pajak bukan sekadar angka; ia adalah cerminan dari nilai-nilai
keadilan yang dipegang oleh sebuah bangsa.