Sabtu, 18 Oktober 2025

NU, Palestina, dan Pertarungan Gagasan di Panggung Global

 Di penghujung 2025, pernyataan Nahdlatul Ulama tentang Palestina menarik perhatian saya. Dalam sebuah rilis, PBNU menegaskan bahwa komunitas internasional “harus melihat Palestina sebagai satu negara kesatuan”, sambil mengkritik kerangka solusi dua-negara yang dinilai gagal jika tidak didahului oleh pengakuan terhadap keutuhan bangsa Palestina.

Bagi saya, ini bukan sekadar komentar politik. Ada pandangan moral, pengalaman sejarah, dan cara NU membaca dunia yang hadir bersamaan.

NU berada di persimpangan: di satu sisi, secara diplomatik bersama pemerintah Indonesia, NU masih menyebut solusi dua-negara sebagai jalan resmi yang paling realistis untuk kemerdekaan Palestina. Di sisi lain, NU memberi tekanan moral bahwa “dua-negara” tidak boleh menjadi jargon tanpa keadilan. Maka ia mengirim pesan: sebelum bicara formula, kita harus bicara manusia, hak hidup, dan martabat.

Dua bahasa, satu horizon

Sebagian orang mungkin melihat pernyataan NU itu kontradiktif: bagaimana mungkin mendukung dua-negara, tetapi juga menyerukan pengakuan atas satu kesatuan Palestina?

Bagi saya, tidak juga. NU justru berusaha merangkul keduanya:

  • Secara moral, Palestina adalah bangsa yang satu, dengan sejarah, identitas, dan luka yang tidak bisa disobek.

  • Secara diplomatik, solusi dua-negara tetap menjadi bahasa yang dipahami dunia internasional — pintu untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan.

NU mencoba menyebut apa yang tidak mau disebutkan banyak aktor global: bahwa “dua-negara” bisa menjadi kata kosong jika kenyataan di lapangan tidak berubah. Jika kekerasan berkepanjangan terus dibiarkan, jika warga sipil tidak diproteksi, jika pengusiran dan blokade dianggap normal, lalu apa arti sebuah formula?

Inilah yang saya rasa NU ingin katakan:
keadilan harus didahulukan, bukan hanya desain politik di atas meja.

Antara idealisme dan realisme

Saya memperhatikan bahwa banyak negara di dunia tetap bertahan pada solusi dua-negara, bukan karena itu menjamin keadilan, tapi karena itu satu-satunya formula yang masih bisa diucapkan tanpa menimbulkan kegaduhan diplomatik.

Namun NU, dengan bahasa agamanya, menggeser fokus ke dasar filosofis: Palestina bukan sekadar soal perbatasan. Palestina adalah soal kemanusiaan.

Ada resonansi yang kuat di sini. Saya melihatnya sebagai kelanjutan dari tradisi NU yang panjang: menempatkan manusia sebagai pusat. Dalam politik lokal, dalam soal kemiskinan, dalam isu budaya, sampai pada tragedi Gaza.

Ketika utusan Palestina datang ke kantor PBNU tahun ini, isu yang dibahas bukan hanya geo-politik. Ada tiga hal yang mendasar: penolakan relokasi warga Gaza, kebutuhan perlindungan sipil, dan penghentian kekerasan. Ini menunjukkan bahwa NU bergerak pada wilayah kemanusiaan lebih dulu, baru politik.

Gema di dalam negeri

Pernyataan NU tidak hanya punya makna luar negeri. Di dalam negeri, ia mempengaruhi perasaan dan arah gerakan sosial. Solidaritas untuk Palestina di Indonesia sangat kuat. Ada potensi moral yang tinggi, tetapi juga ada emosi yang mudah tersulut.

Sikap NU yang relatif moderat — mengusung keadilan tanpa retorika ekstrem — memberi keseimbangan.

NU menolak normalisasi hubungan tanpa keadilan, namun juga tidak berdiri pada posisi perang atau permusuhan membabi buta. Ia menjaga jarak yang sehat, sekaligus menunjukkan empati.

Dalam hal ini, NU memainkan fungsi “penyangga” yang penting di tengah polarisasi. Ia menciptakan ruang aman di mana kita bisa punya suara terhadap Palestina, tanpa kehilangan akal sehat.

Catatan saya untuk ke depan

Akhir 2025 mengajarkan satu hal: konflik Palestina–Israel bukan hanya soal geopolitik. Ia adalah pertarungan nilai. NU, dengan suara agamanya, memberi satu kontribusi signifikan: mengembalikan konflik ini pada manusia.

Saya pikir posisi NU akan terus diuji. Akan ada kritik dari dua sisi:

  • dari yang menuntut sikap lebih keras, atau

  • dari yang menganggap seruan keadilan itu tidak realistis.

Tetapi mungkin ini memang peran yang paling tepat bagi NU: menjadi “suara waras” di tengah kegaduhan global — menjembatani idealisme moral dengan diplomasi nyata. Tidak mencari tepuk tangan, tetapi menawarkan kompas etika.

Di tengah dunia yang semakin bising, saya merasa ini justru relevan.

Karena pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting sederhana:
Bagaimana kita memperlakukan manusia?

Dan sepanjang sikap itu masih terjaga, ada alasan untuk tetap optimis.

Sabtu, 27 September 2025

Renungan tentang Nilai, Etika, dan Masa Depan

Bulan September ini mata saya tertuju pada sebuah berita dari Kyoto. Jepang yang sunyi, penuh kuil dan taman batu, ternyata menjadi panggung pertemuan dunia pemikiran. Kyoto Conference 2025 diselenggarakan untuk pertama kalinya, dengan tema yang sangat ambisius:

Realizing a Multilayered Society of Values.”

Di sana, para filsuf bertemu dengan orang-orang yang biasanya tidak kita bayangkan berada dalam ruang yang sama: pemimpin bisnis, pejabat pemerintah, rohaniwan, pakar teknologi, seniman, dan aktivis sosial. Saya membayangkan sebuah ruang konferensi modern di tengah kota tua Kyoto, di mana diskusi tentang nilai dan etika berlangsung bersamaan dengan hiruk pikuk kota, suara kereta, dan aroma matcha yang menenangkan.

Yang menarik adalah inti gagasan konferensi ini:
masyarakat masa depan tidak bisa lagi ditopang oleh satu sistem nilai saja.
Dunia menjadi terlalu kompleks, terlalu berlapis.

Ada nilai agama, ada nilai pasar, ada nilai komunitas, ada nilai ilmiah, ada nilai budaya, dan yang terbaru: nilai yang lahir dari teknologi dan kecerdasan buatan.

Selama membaca laporan konferensi ini, saya sering bertanya pada diri sendiri:

“Apakah kita benar-benar siap hidup dalam masyarakat di mana manusia dan mesin saling mempengaruhi moral satu sama lain?”

Itu bukan pertanyaan kecil.
Banyak dari kita masih berdebat tentang media sosial dan polarisasi, sementara para ahli sudah berbicara tentang AI yang bisa membuat keputusan moral.

Jika sebelumnya kita bertanya:
“Apakah robot bisa berpikir?”

Kini pertanyaannya berubah menjadi:
“Siapa yang bertanggung jawab atas keputusan robot — kita, atau algoritma itu sendiri?”

Saya tersenyum getir membaca salah satu ringkasannya: ketika seorang CEO bertanya kepada seorang filsuf,
“Bagaimana kita menyeimbangkan efisiensi bisnis dengan martabat manusia?”
jawabannya tidak mudah, tetapi suara-suara itu perlu didengar.

Saya membayangkan, jika Socrates masih hidup, mungkin ia akan hadir di konferensi itu, berjalan pelan, mengajukan pertanyaan, bukan memberi jawaban.
Dalam dunia yang ramai, di mana data berlari lebih cepat dari nurani, mungkin yang kita butuhkan adalah ruang untuk berpikir.

Konferensi Kyoto memberi saya harapan.
Bahwa filsafat bukan sekadar teks di perpustakaan.
Bahwa ia masih dipanggil untuk merespons zaman:
krisis nilai, polarisasi, perubahan sosial, dan wajah baru kemanusiaan.

Dari jauh, saya merasa ikut menjadi bagian percakapan itu.
Bukan karena saya seorang akademisi, tapi karena saya juga hidup di masyarakat yang berubah setiap hari.
Di rumah sakit tempat saya bekerja, teknologi menentukan alur kerja, tetapi empati masih menentukan hasilnya.
Di pasar, algoritma menentukan harga, tetapi kejujuran masih menentukan rezeki.

Mungkin itu maksud konferensi ini:
masyarakat berlapis nilai bukan ancaman,
tetapi peluang untuk saling memahami.

Saya menutup catatan ini dengan satu kesan pribadi:

Filsafat yang hidup adalah filsafat yang mau keluar rumah, menyapa dunia, dan mendengarkan suara semua orang — bukan hanya mereka yang membaca buku-buku tebal.

Kyoto 2025 bukan sekadar konferensi.
Ia adalah panggilan untuk menyatukan hati dan pikiran di tengah kerumitan zaman.

Dan saya rasa, itu adalah kabar baik.

Sabtu, 23 Agustus 2025

Pengampunan Massal Prabowo: Rekonsiliasi atau Politik Balas Budi?

Awal Agustus 2025, Indonesia dikejutkan dengan langkah besar Presiden Prabowo Subianto. Sebanyak 1.178 narapidana resmi dibebaskan, termasuk tokoh politik macam Hasto Kristiyanto dan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong. Dan ini baru tahap pertama—target besarnya adalah 44.000 tahanan yang akan menikmati program pengampunan.

Langkah ini langsung jadi buah bibir. Ada yang menyebutnya sebagai “politik pemaaf” demi menyatukan bangsa, ada juga yang curiga ini hanya strategi untuk merangkul lawan-lawan politik.

Ada Dasar Hukumnya, Kok

Biar jelas, keputusan ini bukan asal-asalan. Konstitusi Indonesia memang memberi Presiden kewenangan untuk memberi grasi, amnesti, dan abolisi. Itu tertuang di UUD 1945 Pasal 14. Ditambah lagi ada UU Grasi dan UU Pemasyarakatan yang mengatur teknisnya. Jadi, dari sisi hukum, langkah ini sah dan legal.

Apa Untungnya?

Kalau dilihat dari sisi positif, ada beberapa hal yang bisa jadi nilai plus:

  • Politik adem ayem: Membebaskan tokoh dari kubu yang dulu oposisi bisa bikin suhu politik turun.
  • Kemanusiaan: Keluarga napi bisa bernafas lega, apalagi di momen 80 tahun kemerdekaan.
  • Praktis: Penjara kita sudah penuh sesak. Membebaskan ribuan orang jelas mengurangi beban negara.

Tapi, Kritiknya Nggak Kalah Keras

Di sisi lain, publik juga punya pertanyaan besar:

  • Bagaimana dengan napi korupsi? Kalau mereka ikut bebas, apa nggak kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi?
  • Apakah ini rekonsiliasi tulus atau sekadar politik balas budi? Publik wajar curiga, apalagi yang dibebaskan ada tokoh politik besar.
  • Efek jangka panjangnya apa? Jangan sampai napi atau politisi ke depan berpikir: “Tenang aja, toh nanti bisa dapat grasi.”

Jadi, Apa Kesimpulannya?

Kebijakan Prabowo ini memang berani. Ia bisa dikenang sebagai presiden yang berusaha menyatukan bangsa di momen emas 80 tahun Indonesia merdeka. Tapi ia juga bisa dicatat sebagai pemimpin yang memberi ruang kompromi untuk elite politik yang pernah bermasalah.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah ini rekonsiliasi tulus, atau justru politik balas budi yang dibungkus kata-kata manis? Jawabannya ada di tangan publik—dan tentu di langkah Presiden selanjutnya.

Selasa, 15 Juli 2025

Air yang Tenang



Seperti air yang tenang mengusap tepi,
kau hadir bukan untuk menerjang,
melainkan menenangkan badai yang menghuni,
suara gaduh yang lelah dalam riuh terang.

Bukan gelegak yang kau bawa,
melainkan napas dalam dan sabar langkah,
mengalir, pelan namun pasti arahnya,
menuju cakrawala di ujung asa dan cita.

Kekuatanmu bukan dalam teriakan,
tapi dalam diam yang menyejukkan,
menyentuh hati yang karam dalam kebingungan,
membimbing jiwa pulang dalam pelukan ketenangan.

Biarlah dunia tergesa dan berseru,
kau tetap melaju, walau perlahan,
karena tujuan tak perlu gemuruh,
cukup aliran yang setia pada harapan.

Selasa, 08 Juli 2025

Menerima Koreksi, Menyampaikan Perspektif


Hari ini, seperti hari-hari lainnya, saya belajar lagi satu hal penting di dunia kerja: bahwa komunikasi bukan hanya soal menyampaikan, tapi juga soal memahami—dan lebih jauh lagi, menyambungkan dua sisi dari satu kenyataan.

Ada satu momen hari ini ketika saya menerima koreksi dari atasan. Sebuah catatan yang disampaikan dengan niat baik, untuk kebaikan bersama dan untuk perbaikan sistem. Saya menyimaknya dengan rasa hormat dan penuh perhatian, meskipun jujur, hati kecil saya sempat tersentuh—bukan karena saya merasa disalahkan, tetapi karena saya merasa belum sepenuhnya mampu memperlihatkan niat dan usaha saya yang sebenarnya.

Dalam hati saya berkata, “Terima kasih atas perhatian dan koreksi yang disampaikan. Saya mohon izin untuk menjelaskan sedikit dari sisi saya, bukan untuk membela diri, tapi agar kita punya gambaran yang lebih utuh.”

Ucapan itu akhirnya saya sampaikan secara langsung. Bukan dalam nada defensif, tetapi dalam semangat menyatukan sudut pandang. Terkadang, satu masalah terlihat keliru jika dilihat dari satu sisi, padahal di baliknya ada niat baik yang tersembunyi, atau keterbatasan yang belum sempat terungkapkan.

Saya belajar bahwa bekerja bukan hanya tentang hasil akhir, tapi juga tentang proses yang harus transparan, jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan yang lebih penting, tentang bagaimana kita memperlakukan koreksi: apakah sebagai serangan terhadap diri, atau sebagai cermin untuk menyempurnakan langkah.

Saya memilih yang kedua.

Saya bukan orang yang selalu benar. Bahkan seringkali saya salah menilai waktu, kurang teliti membaca situasi, atau terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Tapi saya ingin terus belajar. Saya ingin tumbuh menjadi pribadi yang bukan hanya bisa bekerja, tapi juga bisa diajak bicara.

Hari ini, saya pulang dengan satu kesadaran baru: bahwa menjaga komunikasi yang sehat di dunia kerja itu butuh dua hal—kerendahan hati untuk menerima masukan, dan keberanian untuk menyampaikan sudut pandang dengan jernih.

Semoga esok lebih baik.

Semoga saya juga lebih bijak.

"Kebenaran adalah cermin yang jatuh dari tangan Tuhan dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut satu keping, dan mengira telah menemukan keseluruhan."

— Jalaluddin Rumi

Minggu, 08 Juni 2025

Usulan Perbaikan Regulasi Pembentukan Daerah Otonomi

Beberapa waktu terakhir, sengketa wilayah kembali menjadi headline. Bukan hanya soal garis di peta, tetapi soal empat pulau yang tiba-tiba “diperebutkan” oleh dua daerah. Aneh rasanya, di usia republik yang sudah matang, kita masih tersandung pada persoalan dasar: di mana batas administrasi sebuah daerah? Bagaimana pula sebuah pulau bisa “hilang” secara administratif dari daerah asalnya?

Sebagian kalangan legislatif mengusulkan agar regulasi pembentukan daerah otonomi diperjelas dan diperketat. Menurut mereka, akar masalahnya ada pada ketidakjelasan prosedur dan dokumen saat sebuah daerah dimekarkan. Batas wilayah yang seharusnya tegas sejak awal, ternyata banyak yang diserahkan pada “kesepakatan kemudian”. Inilah celah yang kemudian menimbulkan konflik, tarik-menarik kewenangan, bahkan kegaduhan politik lokal.

Di satu sisi, gagasan ini terasa masuk akal. Otonomi daerah memang memberi napas baru, memberi ruang bagi daerah untuk tumbuh sesuai potensi masing-masing. Tetapi ketika regulasi pembentukan daerah dibuat setengah matang, hasilnya justru kontraproduktif. Kita mereplikasi birokrasi, tetapi tidak menyelesaikan persoalan. Kita membelah wilayah, tetapi tidak membelah tanggung jawab dengan adil.

Saya melihat persoalan ini bukan semata-mata soal administrasi, melainkan soal pembangunan nasional yang terfragmentasi. Daerah yang memperebutkan batas bukan hanya memperebutkan tanah, tetapi akses fiskal, sumber daya alam, dan legitimasi politik. Dalam konteks empat pulau itu, yang dipertaruhkan bukan hanya peta, tetapi juga harga diri pemerintahan daerah. Dan ketika martabat sudah terlibat, kompromi menjadi sangat sulit.

Menurut saya, usulan perbaikan regulasi ini harus menjawab tiga hal mendasar:

  1. Penetapan batas wilayah harus berbasis data geospasial yang mengikat, bukan sekadar kesepakatan politik di atas kertas.

  2. Proses pemekaran harus memasukkan kajian konflik batas sejak awal, bukan dibiarkan sebagai “PR” yang akan diselesaikan setelah daerah berdiri.

  3. Negara harus memiliki mekanisme mediasi cepat dan final, agar sengketa tidak melebar menjadi sentimen sosial dan identitas lokal.

Dalam banyak kasus, warga yang tinggal di wilayah perbatasan justru yang paling dirugikan. Mereka bingung harus mengurus administrasi kemana, sekolah dan layanan publik tergantung pada “hasil negosiasi”, dan identitas mereka ditarik-tarik oleh dua pemerintah yang sama-sama merasa berhak.

Sebagai masyarakat, saya merasa kita perlu mengingatkan bahwa otonomi daerah bukan kompetisi untuk memperbanyak logo kabupaten baru. Otonomi adalah alat untuk meningkatkan pelayanan publik, bukan arena perebutan wilayah.

Regulasinya harus jelas, transparan, dan—yang paling penting—punya kepastian. Supaya ke depan kita tidak lagi membaca berita tentang sengketa empat pulau yang entah milik siapa, sementara warganya hanya ingin hidup tenang di tanahnya sendiri.

Minggu, 04 Mei 2025

Lumpur Panas dari Roburan Dolok: Catatan Kecil dari Pinggir Bencana

Akhir April 2025 itu terasa jauh lebih panas dari biasanya. Di Roburan Dolok, sebuah desa yang tampak tenang di lereng Panyabungan Selatan, bumi tiba-tiba membuka napasnya. Pada awalnya hanya satu titik lumpur panas, dikelilingi pagar seadanya oleh warga yang masih bingung apakah harus takut atau cukup berhati-hati. Namun beberapa hari kemudian, titik itu bertambah. Lalu bertambah lagi. Hingga pada laporan terakhir dari BNPB, ada 15 titik semburan yang aktif.

Sebagian orang menyebutnya “fenomena alam”. Sebagian lain bertanya pelan: alam yang mana? Yang murni natural, atau alam yang sudah kita ganggu berpuluh tahun?

Saya mengunjungi lokasi itu pada suatu pagi. Tidak ada suara keras seperti ledakan, tidak ada teater bencana yang dramatis. Yang ada hanyalah diam yang berbahaya: tanah yang mendesis, lumpur yang pelan tapi pasti merembes dari perut bumi, tumbuhan yang mati di sekitarnya, dan bau gas samar yang menusuk hidung. Di antara titik-titik semburan itu, saya melihat satu icu kecil: selembar daun pisang yang layu, warnanya kecoklatan, seperti terbakar dari bawah.

Narasi tentang bencana di daerah ini selalu berayun antara dua ekstrem: ketakutan dan kebiasaan. Kita takut — tentu saja. Tapi kita juga terbiasa. Gunung di sini hidup; bumi ini tidak pernah betul-betul tenang. Namun justru karena terbiasa itulah kita sering menunda pertanyaan penting.

Saya bertanya kepada diri sendiri:
Mengapa semburan itu muncul sekarang?
Apa yang berubah?
Dan siapa yang mengambil risiko terbesar?

Warga memberi jawaban sederhana:

“Kami hanya ingin hidup dengan aman, bertani, membesarkan anak.”

Tetapi wilayah ini tidak steril dari aktivitas industri. Ada pengeboran panas bumi, ada eksplorasi, ada pembangunan. Tidak semua semburan harus disalahkan pada proyek-proyek itu — tapi tidak juga bijak jika kita berpura-pura bahwa keduanya tidak saling bersentuhan.

Yang saya lihat dari dekat bukan hanya lumpur yang keluar dari tanah. Saya melihat kecemasan yang keluar dari wajah-wajah orang kampung. Mereka menghitung jarak rumah, mengukur arah angin, menebak apa yang akan terjadi jika salah satu titik semburan membesar.

Sementara itu, laporan teknis terus disusun. Ahli geologi berbicara dengan bahasa yang tenang. Birokrat mengeluarkan siaran pers. Ada rapat-rapat, ada survei, ada drone yang terbang di atas ladang.

Namun di bawah itu semua, ada pertanyaan moral:
Siapa yang bertanggung jawab menjaga yang rapuh?

Dalam banyak peristiwa di Mandailing Natal, saya melihat pola yang sama:

  • Bencana muncul,

  • perhatian datang,

  • bantuan turun,

  • lalu semuanya perlahan dilupakan.

Tetapi lumpur panas adalah pengingat bahwa bumi punya memori lebih panjang dari manusia. Yang hari ini berupa semburan kecil, esok bisa menjadi pergeseran besar. Di daerah yang hidup di antara gunung dan sungai, bencana bukan sekadar kejadian — ia adalah dialog yang belum selesai.

Ketika saya meninggalkan Roburan Dolok sore hari itu, matahari terang benderang. Dari jauh, tanah yang bergolak hampir tak terlihat. Desa tampak biasa saja. Anak-anak berlari di halaman, sapi merumput, dan asap dapur naik dari rumah-rumah. Tetapi di bawah tanah, sesuatu terus bergerak.

Dan dalam pikiran saya, hanya ada satu kalimat yang mengganggu:

“Kalau alam sudah berbicara, apakah kita siap mendengarkan?”

Rabu, 30 April 2025

MK Larang Pemerintah dan Perusahaan Lapor Pencemaran Nama Baik: Kabar Baik untuk Kebebasan Bersuara

Akhir April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) bikin gebrakan besar. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa hanya orang perorangan yang boleh melaporkan pencemaran nama baik. Artinya, pemerintah, perusahaan, atau lembaga negara nggak bisa lagi bawa-bawa pasal pencemaran nama baik untuk membungkam kritik.

Putusan ini muncul setelah gugatan dari aktivis lingkungan, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang resah karena pasal pencemaran nama baik sering dipakai untuk menekan warga yang vokal. Bayangkan, dulu perusahaan besar atau pejabat bisa dengan mudah melaporkan orang yang mengkritik. Sekarang, jalannya sudah ditutup MK.

Kenapa Penting?

Kebebasan berekspresi di Indonesia memang sering “nyangkut” gara-gara pasal pencemaran nama baik. Aktivis, jurnalis, bahkan warganet biasa pernah berurusan dengan hukum karena mengkritik kebijakan atau perusahaan.

Dengan putusan ini:

  • Warga lebih aman bicara soal kebijakan publik, korupsi, atau isu lingkungan.
  • Perusahaan dan pemerintah tetap bisa klarifikasi, tapi lewat hak jawab atau saluran resmi, bukan dengan laporan pidana.
  • Pengadilan otomatis akan menolak laporan pencemaran nama baik dari badan hukum atau lembaga.

Dasar Hukumnya

MK menegaskan bahwa hak atas nama baik itu hak pribadi. Jadi yang boleh merasa tersinggung dan melapor hanyalah orang, bukan institusi. Putusan ini juga sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28E dan 28F, yang menjamin kebebasan berpendapat dan hak atas informasi.

Apa Dampaknya Buat Kita?

Kalau kamu sering bersuara soal isu publik—entah di medsos, blog, atau forum—putusan ini jelas memberi napas lega. Kritik tetap boleh, asal tentu saja tetap berpegang pada etika.

Di sisi lain, bagi pejabat atau korporasi, cara terbaik untuk menanggapi kritik adalah dengan transparansi dan klarifikasi, bukan lagi dengan ancaman hukum.

Putusan MK ini jadi momen penting. Ia mengirim pesan kuat: kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi, dan tidak boleh gampang dipasung hanya karena kritik membuat pihak berkuasa risih.

Sabtu, 15 Maret 2025

Ketika Bayangan Dwifungsi Kembali Menjelma

Hari ini, aku kembali merenungi siaran berita, ditemani secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Di tengah hiruk pikuk kehidupan bernegara, satu keputusan besar dari DPR RI menggema di benakku: pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Sebagai seorang yang pernah kuliah hukum, aku merasa terpanggil untuk mencatatnya. Bukan sekadar sebagai fakta, tetapi sebagai suara kegelisahan.

Revisi itu memperluas peran militer, menambah tugas mereka dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan lebih jauh lagi, memperbesar peluang anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Sekilas, ini mungkin terlihat sebagai bentuk adaptasi atas kebutuhan zaman. Tapi apakah demokrasi kita cukup kokoh untuk menampung perluasan ini tanpa menimbulkan ketimpangan kuasa?

Kekhawatiran banyak pihak ini bukan tanpa dasar. Konsep dwifungsi militer yang pernah kita tinggalkan—dengan susah payah pasca reformasi—kini terasa seperti bayangan yang kembali. Aku teringat kuliah-kuliah konstitusi di mana peran sipil dan militer mesti dibedakan dengan tegas, demi menjaga keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan.

Lebih dari 26.000 orang menandatangani petisi online menolak revisi ini. Itu bukan sekadar angka. Itu adalah suara publik yang khawatir. Suara yang sadar bahwa demokrasi bisa tergerus bukan hanya oleh kekuasaan yang otoriter, tapi juga oleh ketidaksadaran kita dalam membatasi kekuasaan itu sendiri.

Aku percaya hukum adalah penjaga nilai. Tapi siapa yang menjaga hukum ketika ia mulai ditulis dengan arah yang membingungkan? Aku tidak anti militer. Aku hormat pada mereka yang menjaga kedaulatan. Tapi ketika tugas-tugas sipil mulai menjadi bagian dari peran militer secara institusional, aku mulai bertanya: siapa yang akan mengawasi ketika semua fungsi mulai menyatu?

Malam ini, aku menutup catatan harian dengan hati yang belum tenang. Demokrasi kita sedang diuji. Dan sejarah—selalu punya cara untuk mencatat siapa yang berjaga, dan siapa yang terlelap.

Kamis, 13 Februari 2025

Diari Politik: Sidang PHPU Pilkada Madina 2025

Hari ini, 13 Februari 2025, menjadi salah satu hari yang menegangkan dalam perjalanan demokrasi di Mandailing Natal. Aku mengikuti siaran langsung dari Mahkamah Konstitusi di Jakarta, tempat berlangsungnya sidang lanjutan sengketa hasil Pilkada Bupati Mandailing Natal. Rasanya campur aduk—antara harap, cemas, dan penasaran.

Pasangan calon nomor urut 01, Harun Mustafa Nasution dan M. Ichwan Husein NST, menggugat hasil Pilkada. Mereka menyoroti persoalan LHKPN yang diserahkan oleh lawan mereka—pasangan nomor urut 02, Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi—yang katanya terlambat. Sebuah hal yang bisa jadi sangat teknis, tapi dalam kontestasi politik, bisa berubah menjadi sangat strategis.

Di ruang sidang MK, argumen dan sanggahan saling bersahutan. Tim hukum dari kedua belah pihak mencoba membuktikan kebenaran dari sudut pandang masing-masing. Tapi yang paling ditunggu-tunggu adalah suara palu hakim konstitusi. Dan akhirnya, putusan dibacakan: MK menolak gugatan pasangan 01. Mereka menyatakan bahwa penyerahan LHKPN oleh pasangan 02 sudah sesuai aturan, dan tidak ada pelanggaran substansial dalam proses pencalonan.

Aku menutup laptop dengan pelan. Di balik segala hiruk pikuk dan strategi, ternyata demokrasi masih berjalan lewat jalurnya. Kadang tak memuaskan semua pihak, tapi tetap menjadi jalan tengah yang sahih dalam menyelesaikan sengketa. Bagi rakyat seperti aku, semoga ini bukan sekadar soal siapa menang dan kalah, tapi tentang memastikan bahwa proses tetap adil dan bermartabat.

Hari ini, politik terasa begitu nyata. Bukan sekadar spanduk dan orasi, tapi tentang kepercayaan dan hukum yang sedang diuji. 

Minggu, 26 Januari 2025

Januari yang Sunyi: Catatan tentang Ribuan yang Kehilangan Pekerjaan

Januari 2025 belum juga usai ketika berita itu sampai ke telinga saya—sebanyak 3.325 pekerja kehilangan pekerjaannya bulan ini. DKI Jakarta menjadi penyumbang angka terbesar: 2.650 orang. Sejenak saya terdiam, bukan karena terkejut, tapi karena nyaris terbiasa.

Saya membayangkan pagi hari di rumah-rumah para pekerja itu. Sarapan yang tak lagi tergesa, kerah baju yang tak lagi dirapikan, dan langkah kaki yang kehilangan arah. PHK memang bukan hanya soal statistik; ia adalah cerita tentang mimpi yang ditangguhkan dan dapur yang harus tetap menyala.

Yang membuat hati saya lebih nyeri, angka ini nyaris sama dengan Januari tahun lalu. Seolah-olah, bagi sebagian orang, Januari bukan bulan awal yang penuh harap, tapi bulan perpisahan yang berulang. Apakah kita benar-benar belajar dari waktu ke waktu? Ataukah sistem kita hanya pandai menghitung korban, tapi gagal mencegahnya?

Di antara deretan angka, ada wajah-wajah manusia. Ada ayah yang pulang lebih awal, ibu yang berusaha tersenyum di depan anak-anaknya, dan anak muda yang tiba-tiba kehilangan arah setelah baru saja menggapai impian kecilnya.

Saya menulis ini bukan untuk menawarkan solusi besar. Hanya untuk mengingatkan diri sendiri dan siapa saja yang membaca—bahwa statistik itu nyata, dan di balik setiap angka ada kisah yang layak didengar.

Semoga Februari membawa harapan, bukan berita buruk yang serupa.

Abdul Majid

Rabu, 01 Januari 2025

Langkah Awal di Tahun Baru: Komitmen untuk Logistik Rumah Sakit yang Lebih Baik


Hari ini, saya mencoba untuk penuh semangat dan optimisme memulai tahun baru, terutama setelah menghabiskan waktu merenungkan peran yang saya emban di Unit Logistik Umum Rumah Sakit Umum Permata Madina Panyabungan. Betapa pentingnya keberadaan logistik umum dalam mendukung operasional rumah sakit membuat saya merasa bahwa tanggung jawab ini adalah bagian dari kontribusi saya bagi masyarakat.

Saya memulai hari dengan meninjau draft program kerja Unit Logistik Umum untuk tahun 2025. Program ini disusun berdasarkan evaluasi tahun sebelumnya dan kebutuhan yang terus berkembang. Membaca kembali detailnya, saya semakin memahami bahwa setiap langkah yang diambil harus berorientasi pada efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan. Dalam kepala saya terlintas visi: bagaimana kami dapat mendukung rumah sakit menjadi penyedia layanan kesehatan yang profesional dan terpercaya, dengan pengelolaan logistik yang responsif dan transparan.

Salah satu hal yang menjadi perhatian utama saya hari ini adalah rencana peningkatan manajemen persediaan dan sistem pencatatan. Saya sadar, dengan jumlah pasien yang terus meningkat, tantangan untuk memastikan ketersediaan logistik akan semakin besar. Namun, saya yakin dengan koordinasi lintas unit yang lebih baik, kami bisa mengatasinya.

Selain itu, efisiensi anggaran juga menjadi titik fokus. Kami harus lebih bijak dalam mengelola sumber daya, memastikan tidak ada pemborosan sekaligus menghindari kekurangan stok barang. Dalam pikiran saya, upaya ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memastikan setiap langkah membawa manfaat bagi pasien dan semua pihak yang terlibat. 

Hari ini ditutup dengan refleksi. Saya merasa bersyukur diberi kesempatan untuk terlibat dalam sesuatu yang besar, yang tidak hanya berdampak pada institusi, tetapi juga pada masyarakat luas. Tahun 2025 adalah awal baru yang penuh tantangan, tetapi saya percaya, dengan komitmen dan kerja keras, kami bisa mencapainya.

Semoga semua usaha ini membawa keberkahan dan manfaat.

Selasa, 31 Desember 2024

2024: Tahun Penuh Makna, Pelajaran, dan Langkah Baru Menuju Masa Depan


Tahun ini adalah salah satu tahun paling penuh warna dalam hidup saya. Banyak momen berharga, pencapaian, tantangan, dan pelajaran yang mendewasakan saya.
Tahun ini, rutinitas saya di unit logistik umum RSU Permata Madina Panyabungan terus berjalan lancar. Saya belajar banyak tentang manajemen dan kerja tim, terutama ketika menghadapi survei verifikasi akreditasi rumah sakit. Rasanya luar biasa melihat kerja keras kami terbayar.
Selain itu, saya aktif mengurus partai, mengikuti kampanye, bahkan maju sebagai calon legislatif. Pemilu 2024 adalah pengalaman yang menantang sekaligus mengesankan, terutama saat mendampingi calon-calon yang kami usung untuk pilkada.
Namun, momen yang paling mengubah hidup saya adalah pernikahan saya. Berbagi hidup dengan pasangan baru memberikan kebahagiaan dan tanggung jawab yang tidak tergantikan.
Semua pengalaman ini membuat saya lebih memahami arti kerja keras, komitmen, dan keberanian menghadapi risiko. Saya merasa semakin matang, baik secara pribadi maupun profesional.
Tidak ada perjalanan tanpa rintangan. Tahun ini, saya menghadapi tekanan besar, terutama dalam membagi waktu antara pekerjaan, partai, kampanye, dan kehidupan pribadi. Kadang, rasanya hampir menyerah, terutama saat menghadapi kritik atau ketidakpastian hasil pemilu.
Namun, saya belajar untuk tetap tenang, meminta bantuan jika diperlukan, dan menyusun prioritas dengan lebih baik. Dari sini, saya sadar bahwa kegagalan hanyalah jalan untuk belajar lebih banyak.
Tahun ini mengajarkan saya pentingnya komunikasi efektif, terutama saat bekerja dalam tim besar di rumah sakit maupun partai. Saya juga belajar bahwa mendengarkan bisa jauh lebih kuat daripada berbicara, baik di ranah profesional maupun pribadi.
Dari pasangan saya, saya belajar kesabaran dan empati. Semua pelajaran ini membantu saya melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas.
Hubungan saya dengan keluarga semakin erat tahun ini, terutama setelah pernikahan. Dukungan mereka adalah sumber energi saya untuk terus maju.
Di komunitas RS dan partai, kolaborasi kami selama menghadapi survei akreditasi dan pemilu menjadi kenangan tak terlupakan. Momen-momen ini menguatkan rasa kebersamaan dan solidaritas kami.
Saya bersyukur atas kesehatan, keluarga, teman-teman, dan peluang yang datang tahun ini. Saya juga bersyukur atas tantangan yang mendewasakan saya. Rasa syukur ini memberi saya kekuatan untuk melangkah lebih jauh.
Tidak semua tujuan saya tercapai. Beberapa target politik tidak berjalan sesuai harapan. Namun, saya bangga dengan pencapaian lain, seperti menyelesaikan tugas-tugas di rumah sakit dan membangun keluarga kecil saya. Hambatan yang ada menjadi pengingat untuk terus belajar dan berkembang.
Di tahun 2025, saya ingin lebih fokus pada pengembangan diri dan karier, baik di rumah sakit maupun di dunia politik. Saya juga ingin mempererat hubungan dengan keluarga dan komunitas saya, serta meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Kepada diriku di masa depan,
Kamu sudah melakukan yang terbaik tahun ini. Jangan pernah meremehkan usahamu, bahkan jika hasilnya belum sempurna. Tetaplah percaya diri, belajar dari setiap pengalaman, dan nikmati setiap langkah perjalananmu. Tahun depan adalah kesempatan baru untuk tumbuh lebih baik.
Selamat tinggal, 2024. Terima kasih atas semua pelajaran dan kenangan. Selamat datang, 2025. Saya siap untuk perjalanan baru ini!

Selasa, 17 Desember 2024

No Viral, No Justice: Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

 


Fenomena “no viral, no justice” mencerminkan kondisi memprihatinkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era digital, media sosial menjadi alat untuk menyuarakan ketidakadilan. Namun, kenyataan bahwa keadilan sering kali bergantung pada seberapa viral sebuah kasus menunjukkan kelemahan mendasar dalam sistem hukum. Dalam esai ini, kita akan menganalisis akar permasalahan ini dan dampaknya terhadap masyarakat serta mencari solusi yang relevan untuk mengatasinya.

Keadilan yang Bergantung pada Popularitas

Di banyak kasus, perhatian publik melalui media sosial telah menjadi katalisator untuk mendorong tindakan hukum. Beberapa contoh nyata menunjukkan bahwa kasus-kasus yang mendapat sorotan luas cenderung diproses lebih cepat oleh aparat penegak hukum. Sayangnya, ini menciptakan persepsi bahwa hukum tidak lagi berjalan berdasarkan prinsip keadilan, melainkan atas dasar tekanan sosial. Korban yang tidak memiliki akses ke platform digital atau yang kasusnya tidak cukup “menjual” di mata publik sering kali tidak mendapatkan perhatian yang sama. Akibatnya, sistem hukum menjadi diskriminatif, membatasi akses keadilan hanya bagi mereka yang mampu menarik simpati massa.

Kelemahan Institusi Penegakan Hukum

Fenomena ini mencerminkan lemahnya integritas institusi hukum di Indonesia. Idealnya, hukum seharusnya berjalan independen, berdasarkan fakta dan aturan yang berlaku, bukan berdasarkan opini publik. Namun, kurangnya transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas membuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum merosot tajam. Masyarakat merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan adalah melalui tekanan massa, bukan melalui mekanisme hukum yang ada.

Dampak Sosial dan Psikologis

Ketergantungan pada viralitas untuk mendapatkan keadilan memiliki dampak sosial yang luas. Pertama, masyarakat cenderung memandang media sosial sebagai ruang pengadilan alternatif. Hal ini mengaburkan batas antara opini publik dan keputusan hukum yang seharusnya berbasis fakta. Kedua, korban dan pelaku bisa mengalami peradilan oleh massa (trial by the crowd), yang sering kali tidak adil dan melanggar asas praduga tak bersalah. Ketiga, fenomena ini berpotensi memicu rasa frustrasi dan ketidakberdayaan bagi mereka yang kasusnya tidak mendapat perhatian publik.

Mencari Solusi

Untuk mengatasi fenomena “no viral, no justice,” diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem hukum. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  1. Peningkatan Transparansi: Institusi hukum harus lebih terbuka dalam menangani kasus, termasuk memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang proses dan perkembangan kasus.
  2. Peningkatan Profesionalisme Aparat Hukum: Pelatihan yang berkelanjutan dan pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan mereka menjalankan tugas dengan integritas.
  3. Penguatan Sistem Pengawasan: Dibutuhkan mekanisme pengawasan independen untuk memantau kinerja aparat penegak hukum dan memastikan bahwa mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.
  4. Pendidikan Hukum untuk Publik: Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum agar tidak sepenuhnya bergantung pada media sosial sebagai sarana mencari keadilan.
  5. Pemanfaatan Teknologi secara Profesional: Media sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hukum, tetapi penggunaannya harus diatur agar tidak menciptakan ketergantungan pada viralitas.

Penutup

Fenomena “no viral, no justice” menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sedang menghadapi krisis legitimasi. Ketergantungan pada viralitas sebagai alat untuk mendapatkan keadilan tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga menciptakan ketidakadilan baru. Diperlukan upaya kolektif dari semua pihak — pemerintah, institusi hukum, media, dan masyarakat — untuk memastikan bahwa keadilan tidak lagi menjadi barang dagangan popularitas. Hukum harus kembali pada prinsip utamanya: memberikan keadilan tanpa memandang siapa yang lebih nyaring bersuara.

Sabtu, 30 November 2024

Kenaikan PPN 12 Persen: Pola Eksploitasi dalam Kebijakan Modern?


Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan pemerintah menuai polemik di tengah masyarakat. Kebijakan ini, meskipun diklaim sebagai langkah untuk memperkuat keuangan negara, justru menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan siapa yang paling dirugikan. Dalam konteks ini, kritik terhadap kebijakan tersebut tak ubahnya mengingatkan kita pada pola-pola eksploitasi di era kolonial: rakyat kecil yang diperas demi kenyamanan segelintir elit.

Beban Berat bagi Rakyat Kecil

PPN adalah pajak yang bersifat regresif. Artinya, pajak ini dikenakan pada semua orang tanpa memandang tingkat penghasilan. Bagi masyarakat kelas bawah yang pendapatannya mayoritas habis untuk kebutuhan dasar, kenaikan PPN berarti pengeluaran sehari-hari mereka semakin membengkak. Misalnya, harga bahan makanan, obat-obatan, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya akan meningkat, sementara pendapatan mereka tetap stagnan. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun, dan kesenjangan sosial semakin melebar.

Di sisi lain, kalangan menengah ke atas yang memiliki surplus pendapatan relatif lebih mampu menanggung dampak kenaikan PPN. Bahkan, mereka cenderung tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, terutama jika penghasilan mereka berasal dari investasi atau sektor yang tidak langsung terpengaruh oleh kenaikan pajak konsumsi.

Siapa yang Diuntungkan?

Kenaikan PPN sering kali dibenarkan dengan alasan peningkatan penerimaan negara untuk mendanai pembangunan. Namun, apakah benar seluruh hasil penerimaan pajak tersebut digunakan untuk kepentingan publik? Dalam praktiknya, sering kali kebijakan fiskal lebih menguntungkan sektor korporasi besar, terutama melalui insentif pajak dan subsidi. Hal ini menciptakan paradoks: rakyat kecil membayar lebih banyak, sementara mereka yang sudah memiliki kekayaan besar mendapatkan keuntungan tambahan.

Jika kita menengok sejarah, pola ini tidak jauh berbeda dengan sistem kolonial di masa lampau. Kala itu, pajak dan eksploitasi sumber daya diterapkan demi kepentingan penjajah, sementara rakyat pribumi hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan segelintir penguasa. Hari ini, meskipun konteksnya berbeda, esensinya tetap sama: kebijakan yang membebani mayoritas rakyat untuk menguntungkan minoritas yang memiliki kuasa.

Alternatif Kebijakan yang Lebih Adil

Untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, pemerintah perlu mempertimbangkan reformasi menyeluruh. Salah satunya adalah dengan menggeser beban pajak dari konsumsi ke penghasilan dan kekayaan. Pajak progresif, seperti pajak atas penghasilan tinggi, properti mewah, atau keuntungan modal, dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih besar berkontribusi lebih banyak. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan pajak harus ditingkatkan agar rakyat percaya bahwa uang yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama.

Kesimpulan

Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah kebijakan yang perlu dikritisi karena dampaknya yang tidak proporsional terhadap masyarakat kecil. Kebijakan ini mencerminkan pola eksploitasi yang seharusnya menjadi bagian dari sejarah, bukan realitas masa kini. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa keadilan sosial menjadi inti dari setiap kebijakan fiskal, sehingga rakyat kecil tidak lagi menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pembangunan nasional. Pajak bukan sekadar angka; ia adalah cerminan dari nilai-nilai keadilan yang dipegang oleh sebuah bangsa.

Selasa, 15 Oktober 2024

Seseorang tidak Dihukum Tanpa Bukti yang Jelas dan Meyakinkan

 


Terkait berita ini, kita bisa mengingat pernyataan Cesare Beccaria "Tugas hukum adalah untuk memastikan bahwa seseorang tidak dihukum tanpa bukti yang jelas dan meyakinkan" yang mencerminkan prinsip dasar dari sistem peradilan yang adil. Dalam konteks ini, hukum seharusnya berfungsi untuk melindungi hak asasi individu dengan memastikan bahwa setiap tindakan hukum yang diambil didasarkan pada bukti yang kuat dan tidak sekadar spekulasi atau asumsi. Proses hukum yang menghukum seseorang tanpa bukti yang jelas dapat berpotensi menzalimi pihak yang tidak bersalah, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem hukum itu sendiri. Oleh karena itu, tugas hukum adalah menjaga keseimbangan antara penegakan keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, dengan memastikan bahwa setiap keputusan hukum didasarkan pada bukti yang sah dan meyakinkan.

Ini yang mendasari pernyataan saya dalam berita di link berikut https://www.growmedia-indo.com/2024/10/penetapan-eel-sebagai-tersangka-kasus.html

Sabtu, 05 Oktober 2024

Mengapa Pasangan Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi Nasution Layak Menjadi Bupati & Wakil Bupati Mandailing Natal 2024-2029?

Pasangan Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi Nasution muncul sebagai salah satu kandidat terkuat untuk memimpin Mandailing Natal dalam periode 2024-2029. Dengan visi yang jelas, pengalaman yang matang, serta komitmen yang tinggi, pasangan ini diyakini mampu membawa perubahan positif bagi daerah. Berikut adalah beberapa alasan mengapa mereka layak mendapatkan dukungan masyarakat.

1. Kepemimpinan yang Berpengalaman

Saipullah Nasution dan Atika Azmi memiliki rekam jejak kepemimpinan yang tidak diragukan lagi. Dengan pengalaman mereka di berbagai sektor, pasangan ini memiliki pemahaman yang mendalam tentang tata kelola pemerintahan serta kebutuhan masyarakat Mandailing Natal. Pengalaman tersebut menjadi modal penting untuk menghadapi berbagai tantangan yang akan dihadapi dalam memimpin daerah.

2. Komitmen terhadap Pembangunan Daerah

Pasangan ini memiliki komitmen kuat untuk memajukan Mandailing Natal, khususnya di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Mereka memahami bahwa pembangunan yang merata adalah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

3. Dekat dengan Rakyat melalui Pendekatan Partisipatif

Saipullah dan Atika selalu dikenal dekat dengan rakyat. Mereka sering terjun langsung ke lapangan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan merumuskan kebijakan berdasarkan kebutuhan nyata di tengah masyarakat. Pendekatan yang humanis ini menjadikan mereka pemimpin yang tidak hanya bekerja dari balik meja, tetapi benar-benar memahami kondisi di lapangan.

4. Visi Ekonomi Kerakyatan

Pasangan ini membawa visi ekonomi kerakyatan yang menitikberatkan pada pemberdayaan sektor UMKM, pertanian, dan perikanan—tulang punggung ekonomi Mandailing Natal. Dengan strategi yang terukur, mereka berkomitmen menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal.

5. Kredibilitas dan Integritas

Dalam dunia politik, kredibilitas dan integritas adalah hal yang sangat penting. Pasangan ini memiliki rekam jejak bersih serta komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas. Hal ini menjadikan mereka sosok pemimpin yang dapat dipercaya untuk membawa perubahan tanpa adanya kepentingan pribadi yang mendominasi.

6. Program Nyata untuk Masa Depan Berkelanjutan

Saipullah dan Atika juga memiliki perhatian besar terhadap keberlanjutan, baik dari segi lingkungan, pendidikan, maupun teknologi. Mereka berkomitmen menghadirkan program-program yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan agar Mandailing Natal mampu bersaing di era modern.

7. Prioritas pada Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan dan kesehatan menjadi salah satu fokus utama pasangan ini. Dengan meningkatkan akses serta kualitas pendidikan dan layanan kesehatan, mereka berusaha memastikan setiap warga Mandailing Natal mendapatkan hak-hak dasarnya dengan layak. Anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang memadai, sementara masyarakat memiliki akses ke layanan kesehatan yang lebih terjangkau dan berkualitas.

Dengan semua visi, misi, dan komitmen yang mereka miliki, pasangan Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi Nasution membawa harapan baru bagi Mandailing Natal. Mereka menawarkan solusi nyata untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat sekaligus membawa daerah ini ke arah yang lebih maju dan sejahtera.


Jumat, 06 September 2024

Kolonialisme Domestik

Kolonialisme domestik merujuk pada situasi di mana satu kelompok atau wilayah dalam suatu negara mengeksploitasi dan mendominasi kelompok atau wilayah lainnya. Biasanya, kelompok yang dominan ini memiliki kekuatan ekonomi, politik, atau militer yang lebih besar, dan menggunakan kekuatan tersebut untuk mengendalikan sumber daya, hak, dan kesempatan dari kelompok yang lebih lemah. Meskipun biasanya kolonialisme mengacu pada penguasaan oleh bangsa asing, dalam konteks domestik, ini terjadi di dalam perbatasan negara itu sendiri.

Beberapa karakteristik utama dari kolonialisme domestik meliputi:

Eksploitasi sumber daya lokal: Kelompok atau wilayah yang dominan seringkali mengeksploitasi sumber daya alam dari wilayah yang lebih lemah untuk keuntungan mereka sendiri, tanpa memberikan imbalan yang adil.

Marjinalisasi politik: Kelompok yang terdominasi sering kali tidak memiliki akses yang adil ke kekuasaan politik, sehingga suara mereka tidak didengar dalam pengambilan keputusan penting.

Diskriminasi sosial dan ekonomi: Wilayah atau kelompok yang didominasi seringkali berada dalam kondisi sosial-ekonomi yang lebih rendah, dengan akses terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.

Dalam beberapa pandangan, kolonialisme domestik dapat dilihat di negara-negara besar di mana ada ketimpangan yang signifikan antara wilayah atau kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, ada tudingan bahwa beberapa kebijakan pembangunan yang tidak adil, eksploitasi sumber daya alam, serta ketidaksetaraan sosial dan ekonomi terhadap wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara bisa dianggap sebagai bentuk kolonialisme domestik.

Situasi saat ini: Di banyak negara, masih terlihat pola ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, antara wilayah kaya dan miskin, serta antara kelompok-kelompok etnis atau suku tertentu. Pemerintah atau kelompok elit di pusat kekuasaan seringkali memonopoli sumber daya, meninggalkan daerah terpencil dan kelompok minoritas dalam kemiskinan dan kekurangan. Misalnya, dalam konteks Indonesia, beberapa orang melihat adanya ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, terutama di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Papua, yang seringkali dilihat sebagai contoh kolonialisme domestik.

Dengan adanya ketimpangan ini, sebagian orang melihat bahwa kolonialisme domestik masih terjadi dalam bentuk eksploitasi dan ketidakadilan yang terjadi di dalam negeri sendiri, meskipun dalam wujud yang terselubung.

Senin, 19 Agustus 2024

Mengikuti Pelatihan Penilaian Kesehatan Koperasi oleh Dinas Koperasi UKM Kabupaten Mandailing Natal


Hari ini, saya mengikuti sebuah pelatihan yang sangat bermanfaat mengenai cara menilai kesehatan koperasi. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kabupaten Mandailing Natal. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan peserta dalam melakukan evaluasi kesehatan koperasi, sehingga dapat membantu koperasi-koperasi di daerah ini untuk berkembang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Pelatihan dimulai dengan sambutan dari Kepala Dinas Koperasi UKM Kabupaten Mandailing Natal, yang menekankan pentingnya peran koperasi dalam perekonomian lokal. Beliau juga menyoroti bahwa koperasi yang sehat dan kuat dapat menjadi pilar penting dalam meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitar.

Materi pelatihan disampaikan oleh beberapa narasumber yang ahli di bidangnya. Mereka memaparkan berbagai indikator yang digunakan dalam penilaian kesehatan koperasi, seperti aspek keuangan, manajemen, dan operasional. Peserta juga diberikan penjelasan mengenai metode dan alat yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja koperasi secara objektif.

Salah satu sesi yang menarik adalah studi kasus, di mana peserta diajak untuk menganalisis laporan keuangan dan situasi operasional dari beberapa koperasi contoh. Melalui sesi ini, peserta dapat lebih memahami bagaimana mengidentifikasi masalah yang mungkin dihadapi oleh koperasi dan mencari solusi yang tepat.

Selain itu, pelatihan ini juga memberikan kesempatan bagi peserta untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait dengan pengelolaan koperasi. Interaksi dan diskusi ini sangat membantu dalam memperkaya wawasan dan pemahaman peserta mengenai berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi oleh koperasi di lapangan.

Di akhir pelatihan, peserta diharapkan mampu menerapkan ilmu yang didapat dalam penilaian kesehatan koperasi di tempat mereka masing-masing. Dengan demikian, koperasi di Kabupaten Mandailing Natal dapat lebih profesional dan kompetitif dalam menghadapi dinamika ekonomi yang terus berubah.

Mengikuti pelatihan ini merupakan pengalaman yang berharga bagi saya. Tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memberikan motivasi untuk berkontribusi lebih dalam mengembangkan koperasi yang sehat dan berkelanjutan. Saya sangat berterima kasih kepada Dinas Koperasi UKM Kabupaten Mandailing Natal yang telah menyelenggarakan pelatihan ini dan berharap akan ada lebih banyak lagi kegiatan serupa di masa mendatang.

Rabu, 31 Juli 2024

Adat dalam Bayang-bayang Kekuasaan: Sebuah Renungan Kritis

 


Adat adalah cermin kehidupan suatu komunitas, mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia bukan sekadar aturan, melainkan nafas hidup, identitas, dan jiwa sebuah masyarakat. Namun, apa yang terjadi ketika adat, yang sejatinya menjadi pedoman bersama, diubah atau dimodifikasi oleh para pemangku adat dengan sikap elitis dan berorientasi pada kekuasaan? Adakah makna adat itu tetap utuh? Atau ia perlahan menjadi bayangan dari kepentingan segelintir pihak?

Ketika Adat Menjadi Alat

Dalam refleksi ini, muncul kegelisahan tentang bagaimana sikap elitis dari para pemangku adat dapat mengubah wajah adat yang kita kenal. Ketika kekuasaan menjadi orientasi, adat yang semula menjadi milik bersama berubah menjadi alat untuk membangun legitimasi. Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi moral masyarakat tergeser oleh aturan-aturan baru yang berfungsi semata-mata untuk menjaga status quo atau memperbesar dominasi pihak tertentu.

Perubahan semacam ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah adat masih memiliki makna? Apakah ia masih menjadi pedoman yang adil dan jujur, atau justru menjadi instrumen kekuasaan? Dalam situasi ini, adat tidak lagi tampil sebagai warisan kolektif, melainkan sebagai properti eksklusif yang hanya melayani kepentingan segelintir orang.

Adat yang Kehilangan Wajah Aslinya

Kehilangan orisinalitas adalah ancaman nyata ketika adat dimodifikasi tanpa akar historis yang jelas. Adat, yang seharusnya tumbuh dan berkembang secara alami bersama masyarakatnya, berubah menjadi sesuatu yang asing. Ia kehilangan makna sebagai penjaga nilai-nilai luhur dan bergeser menjadi konstruksi baru yang tidak lagi akrab dengan komunitasnya.

Lebih dari itu, ketika pemangku adat bertindak sepihak tanpa mendengar suara masyarakat, adat yang mereka ubah kehilangan keabsahannya. Keabsahan adat tidak semata-mata berasal dari pemangku adat, melainkan dari penerimaan kolektif masyarakat. Jika komunitas tidak lagi merasa terwakili oleh adat yang dimodifikasi, maka adat itu kehilangan jiwa dan fungsi sosialnya.

Renungan tentang Masa Depan

Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di bawah naungan adat, kita perlu merenungkan apa yang terjadi ketika adat kehilangan orisinalitasnya. Distorsi adat tidak hanya berdampak pada kehilangan identitas budaya, tetapi juga memecah belah komunitas. Ketika adat berubah menjadi alat kekuasaan, masyarakat tidak hanya kehilangan panduan moral, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi adat itu sendiri.

Adat yang semestinya mempersatukan kini justru menjadi sumber konflik. Mereka yang merasa dilanggar haknya akan mencari cara untuk melawan, dan pada akhirnya, solidaritas yang menjadi kekuatan utama komunitas perlahan terkikis. Dalam jangka panjang, masyarakat bisa kehilangan ikatan mereka dengan adat dan, pada gilirannya, dengan jati diri mereka sendiri.

Menjaga Adat agar Tetap Bermakna

Dalam perenungan ini, kita dihadapkan pada tanggung jawab besar: bagaimana menjaga adat agar tetap bermakna? Adat harus tumbuh secara inklusif, dengan melibatkan semua pihak dalam proses perubahan. Pemangku adat harus kembali pada nilai-nilai dasar yang melandasi keberadaan adat itu sendiri—keadilan, kejujuran, dan kebersamaan.

Hanya dengan cara ini, adat dapat kembali menjadi milik bersama, menjadi cermin yang jernih dari identitas masyarakat. Adat tidak seharusnya menjadi alat kekuasaan, melainkan wadah yang menyatukan, melindungi, dan menuntun. Dalam perjalanan ini, refleksi kita harus selalu berpijak pada pertanyaan mendasar: untuk siapa adat itu dijaga dan diturunkan?

Adat sejatinya adalah warisan kolektif, bukan milik segelintir pihak. Mari menjaga adat dengan hati yang terbuka dan niat yang tulus, agar ia tetap menjadi nafas kehidupan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.