PANYABUNGAN (Mandailing Online) :
Forum Pengurus Karang Taruna Kabupaten Mandailing Natal sebagai
organisasi sosial kepemudaan akan tetap konsisten mewarisi nilai-nilai
tradisi leluhur dan tetap menjaga nilai kearifan lokal Mandailing.
“Ciri khas yang digali dari unsur-unsur tradisionil Mandailing yang
turun temurun dari leluhur kita harus tetap kita jaga dan pertahankan.
Kearifan lokal (local genius) Mandailing harus menjadi budaya
dan karakteristik masyarakat yang memiliki akar yang kokoh dan harus
menjadi produk unggulan kita dalam persaingan global ini” sebut Ketua
Karang Taruna Kabupaten Mandailing Natal, Al-Hasan Nasution dalam rilis
pers, kemarin.
Menurut Al-Hasan, banyak sekali nilai kearifan lokal yang harus tetap
terpatri dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat, seperti nilai
keagamaan yang kuat, nilai solidaritas (kebersamaan), nilai kebenaran,
estetika, etos kerja/gotong royong, nilai keterikatan, keterbukaan dan
nilai kemanusiaan.
“Nilai-nilai luhur kearifan lokal dalam bentuk norma, kaidah dan
aturan yang dianut dan dipatuhi setiap individu dalam berinteraksi
sosial sejak dari nenek moyang kita dahulu merupakan suatu sistem nilai
yang harus menjadi jati diri yang menjadi jembatan penghubung antara
masa lalu dan masa sekarang yang muaranya akan menjadi simpul perekat
dan pemersatu antar generasi” sebutnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa merujuk Peraturan Menteri Sosial RI No.
77/Huk/2010 tentang Pedoman Dasar Karang Taruna dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri RI No. 05 Tahun 2007 tentang Penataan Lembaga
Kemasyakaratan disebutkan bahwa Karang Taruna adalah organisasi sosial
wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar
kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat
terutama generasi muda di wilayah desa /kelurahan atau komunikasi adat
sederajat dan terutama bergerak di bidang Usaha Kesejahteraan Sosial.
“Karang Taruna yang dalam kearifan lokal disebut Naposo Nauli Bulung
harus bisa berperan penting dalam menjaga dan melestarikan nilai
kearifan lokal ini dalam lingkungan sosial sehingga generasi muda Madina
dapat memahami secara utuh adat dan budaya daerah Madina. Hal ini
sangat krusial sehingga tidak menimbulkan pengkaburan sejarah dan
putusnya mata rantai generasi (lost generation)” ujar Al-Hasan Nasution yang juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif LSM Madina Institute ini.
Ditambahkan, kearifan lokal Mandailing pada saat ini, seakan telah
hilang dan langka dalam tatanan masyarakat, bahkan sudah terasa asing
akibat arus modernisasi, apatisme, egoisme dan sikap individualistik.
Bahkan marwah sebuah Huta (desa-red) di Mandailing itu bisa saja hilang
karena tidak ada lagi norma-norma luhur yang terbangun dan terpelihara
dengan baik. Hal ini, menurut dia adalah fenomena ril yang sangat
membahayakan, dan harus segera diantisipasi dengan bersama menggali dan
mewarisi kearifan lokal.
“Perlu disadari bahwa suku bangsa yang memiliki identitas yang jelas,
adalah suku yang dapat berkompetisi global. Mandailing Natal memiliki
corak khas dan warna tersendiri yang berbeda dengan budaya suku lainnya.
Kearifan lokal ini jangan sampai punah dan dilindas zaman, tapi wajib
kita lestarikan dari erosi budaya dan westernisasi”. Jangan pernah malu
mengaku sebagai orang Madina. Tapi banggalah terlahir sebagai anak
Madina” ujar Al-Hasan Nasution.
Dicontohkan, nilai-nilai luhur kearifan lokal yang harus tetap
menjadi tradisi dan dilestarikan seperti nilai kekerabatan “markoum
marsisolkot” dan Dalihan Natolu (sangap mar-Mora, manat mar-Kahanggi,
elek mar-Anak Boru) yang terlihat dari tutur sapa dan saling mengayomi
serta “take and give” (saling memberi dan menerima). Selain itu Poda Na Lima yang berisikan nasehat untuk Paias Rohamu, Pamatangmu, Parabitonmu, Bagasmu, Pakaranganmu
adalah sebuah pesan moral yang luar biasa dalam menjaga keperibadian
dan berinteraksi sosial. Kemudian penghormatan masyarakat kepada barisan
Harajaon, Hatobangon, Haguruan yang sekarang seakan sirna. Ditambah
dengan nilai Hagabeon yang bermakna saling berbagi, harapan panjang
umur, banyak rizky, berakhlak baik dan berpendidikan. Hamoraon yang
memiliki arti kehormatan diri dan keseimbangan aspek spritual dan
material, Hasangapon artinya sanggup menjaga tatanan dan amanah.
Ditambahkan, tatanan hukum adat dalam bentuk Patik yang berisikan
nilai luhur “Holong dohot Domu”. Uhum artinya aturan pelaksanaan dari
Patik dan Ugari yang bermakna juklak dan juknis dari Patik dan Uhum.
Sedangkan “Hapantunan” adalah tata cara berbicara yang sopan santun.
“Marsisarian” (saling memahami, menghargai dan saling membantu antara
satu dengan yang lain). “Inte disiraon, tangi disiluluton” (menunggu
undangan pesta perkawinan, tetapi wajib hadir tanpa diundang untuk
melayat jenazah). Paling memukau, kata Al-Hasan adalah keberadaan lubuk
larangan sebagai tata kelola konservasi sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan. Selanjutnya, pesan leluhur dalam “Maranak ma hamu sapulu
pitu, marboru hamu sapulu onom” artinya adalah petuah yang artinya
maranak ma hamu na bisuk-bisuk, marboru ma hamu na pohom-pohom. Secara
logika, pesan yang diambil dari kearifan lokal itu tidak mungkin istri
kita beranak 33 orang kalau hanya satu istri. Arti yang di maksud adalah
anak adek kita adalah anak kita juga, anak kakak kita adalah anak kita
juga anak kawan kita juga adalah anak kita, anak sekeliling kita adalah
anak kita juga. Ditambah, ada kearifan lokal “bernama Marsialapari” yang
artinya gotong royong dalam menyelesaikan sesuatu sehingga tercapai
tujuan bersama.
Selain itu pemaknaan Bagas Godang yang memiliki lambang segitiga,
artinya Bagas Godang itu di bingkai dengan Dalihan Na Tolu. Di dalam
segitiga itu terdapat gambar matahari artinya setiap pemimpin yang
berada di Bagas Godang itu dia harus bisa menyinari dan mengayomi
rakyatnya. Di bawah matahari ada gambar bulan sabit dan bintang, dan di
bawahnya lagi ada gambar kepala kerbau, artinya di kepemimpinan itu
perlu kesaksian, perlindungan, dan kekuatan. Zaman dahulu, Bagas Godang
pasti ada Hulubalang. Ada pasukan perang, meriam, dan senjata-senjata.
Yang merupakan sistem pertahanan atau perlindungan terhadap rakyat. Yang
di maksud rakyat di sini adalah sembilan marga yang terdiri di daerah
itu. Terus di bawah itu ada terdapat lagi gambar pedang dua mata satu
untuk “sipanganan” anak, satu untuk “sipanganan” boru. Artinya apabila
memang bersalah pasti di hukum, tanpa ada pandang bulu dan diskriminasi
biarpun itu adalah anak/boru dari Raja.
Selain itu kata Al-Hasan, Mandailing Natal yang dijuluki dengan Bumi
Gordang Sambilan juga adalah nilai kearifan lokal yang melambangkan
persatuan dan kesatuan seiring dengan kemajemukan nada gordang sambilan,
tapi menyatu indah dalam alunan. “Masih banyak kearifan lokal lain yang
harus kita gali dan warisi yang merupakan sistem nilai tatanan sosial,
tatanan peradaban dan tatanan adat istiadat kita tetapi sekarang
terkesan hilang dari tengah masyarakat. Hal ini merupakan tugas kita
bersama, agar nilai luhur kearifan lokal tersebut jangan punah. Kearifan
lokal ini jangan hanya bersifat slogan atau hiasan bibir (lips service) tetapi harus diaplikasikan dalam kehidupan warga masyarakat Mandailing Natal” ujar Al-Hasan.
Pada bagian lain, untuk menjaga kearifan lokal ini, Karang Taruna
Kab. Madina meminta kepada Pemkab Madina dalam hal ini Dinas Pendidikan
untuk membuat kurikulum Muatan Lokal sebagai materi ajar yang wajib di
tingkat SD, SLTP dan SLTA yang memuat pelajaran tata cara tulis baca
Surat Pustaha Mandailing, perjalanan pembentukan Mandailing Natal, tokoh
nasional yang berasal dari Madina, Pelajaran historis marga dan
kerajaan Mandailing, Dalihan Na Tolu, Gordang Sambilan, Bagas Godang,
Pakaian Adat dan kuliner asal Madina. Biografi Kepala Derah Madina.
Tentunya juga materi pesan moral Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk karangan
tokoh Nasional Willem Iskander.
Editor : Ludfan Nasution