November 2025 tiba dengan satu peristiwa hukum yang terasa monumental: DPR RI akhirnya mengetuk palu revisi KUHAP. Undang-undang baru ini akan menggantikan KUHAP lama yang, sejak 1981, menjadi tulang punggung proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan pidana di negeri ini. Saya mengikuti berita ini dengan rasa campur aduk—antara optimisme dan kecemasan.
Pemerintah menyebutnya sebagai reformasi besar-besaran. Dan memang, dari sisi struktur dan ruang lingkup, perubahan ini sangat luas. Mulai dari aturan penyidikan dan penuntutan, penggunaan bukti elektronik, hingga mekanisme penegakan hukum yang lebih modern. Pemerintah menegaskan bahwa KUHAP baru akan berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada 2 Januari 2026: seolah-olah semua komponen sistem peradilan kita di-reset, di-upgrade, dan dipaksa berlari mengikuti zaman.
Di atas kertas, hal ini sangat menjanjikan.
KUHAP lama dibentuk pada era yang berbeda. Dunia berubah, teknologi berubah, kejahatan juga berubah wujud. Tanpa pembaruan, kita seperti memaksa aparat menegakkan keadilan dengan alat dan logika masa lalu. Pengakuan atas bukti elektronik, misalnya, adalah sebuah keniscayaan. Kejahatan finansial, siber, dan lintas-batas membutuhkan aturan yang lebih fleksibel.
Namun, di balik optimisme itu, saya tidak bisa menutup mata terhadap kritik yang muncul.
Aktivis HAM dan organisasi masyarakat sipil mengingatkan bahwa hukum acara pidana adalah barikade terakhir bagi hak-hak warga. Jika pagar ini longgar, maka penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi dalam sunyi: penangkapan tanpa pengawasan, perpanjangan penahanan tanpa kontrol yang ketat, bahkan potensi intervensi dalam kasus yang menyentuh kepentingan bisnis besar atau lingkungan hidup.
Kekhawatiran ini bukan paranoia. Kita semua tahu sejarah kita. Dari masa ke masa, selalu ada titik dimana kepentingan politik atau ekonomi mampu membengkokkan hukum. Karena itu, reformasi hukum acara pidana bukan hanya soal mengganti pasal dan prosedur. Ia adalah soal membangun budaya baru: budaya akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan pada martabat manusia.
Saya membayangkan, setelah 2 Januari 2026, aparat akan punya daftar tugas yang panjang. Jaksa, penyidik, pengacara, hakim, semuanya harus mempelajari peta baru. Tantangannya bukan kecil. Reformasi hukum tidak terjadi dalam ruang kosong. Ia hidup di tengah birokrasi yang masih gamang, kapasitas lembaga yang belum merata, dan publik yang seringkali tidak punya akses untuk memahami hak-haknya.
Pada akhirnya, reformasi KUHAP ini adalah sebuah kesempatan.
Tapi kesempatan ini hanya akan berbuah jika kita mengawal bersama. Hukum bukan hanya milik para ahli, bukan hanya urusan aparat. Setiap warga—terutama yang pernah berhadapan dengan proses peradilan—paham betul betapa pentingnya aturan yang adil dan mekanisme yang bersih.
Saya menutup catatan ini dengan satu harapan sederhana: semoga reformasi besar di atas kertas tidak berhenti di meja rapat atau konferensi pers. Semoga ia benar-benar terasa di ruang-ruang sidang, di kantor penyidik, di kantor kejaksaan, dan terutama pada nasib orang-orang kecil yang mencari keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar