Sabtu, 09 Mei 2015

Filsafat dan Aku: Merenung di Antara Kopi dan Kehidupan

Hari ini aku kembali duduk di sudut kedai kopi favoritku, menyeruput secangkir hitam pekat sambil menatap hujan yang turun perlahan. Di sela-sela kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan, aku sering bertanya pada diri sendiri: mengapa aku melakukan ini semua? Apa makna di balik rutinitas yang kadang terasa hampa?

Aku tak pernah mengira bahwa filsafat, yang dulu kupikir hanya milik para pemikir besar seperti Socrates atau Nietzsche, ternyata begitu dekat dengan kehidupanku. Filsafat, bagiku, adalah seni bertanya dan berani mencari jawaban, meskipun kadang tanpa kepastian.

Dalam kehidupan sehari-hari, filsafat mengajarkanku untuk tidak menerima segala sesuatu begitu saja. Ketika media sosial dibanjiri berita simpang siur, filsafat melatihku untuk berpikir kritis sebelum percaya. Saat menghadapi perbedaan pendapat, ia membimbingku untuk tidak asal menghakimi, tetapi mencoba memahami sudut pandang orang lain.

Lebih dari itu, filsafat memberiku ruang untuk merenung dan menemukan makna di balik setiap kejadian. Ketika merasa gagal atau tersesat, aku ingat pepatah dari filsuf Stoik, Epictetus: "Bukan kejadian yang mengganggu kita, melainkan cara kita menafsirkannya." Dengan begitu, aku belajar menerima hidup dengan lebih tenang.

Filsafat bukan sekadar teori di buku-buku tebal, melainkan teman dalam perjalanan hidupku. Ia hadir di setiap pertanyaan sederhana—tentang kebahagiaan, keadilan, hingga arti keberadaanku sendiri. Dan di sinilah aku sekarang, membiarkan pikiranku mengembara di antara kopi yang mulai dingin dan dunia yang tak pernah berhenti berputar.

Tidak ada komentar: