Senin, 30 Desember 2013

Mahkamah Konstitusi Kolaps?


Benarkah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang membatalkan Keputusan Presiden tentang pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati berpotensi membuat Mahkamah Konstitusi (MK) kolaps? Jika putusan itu berkekuatan hukum tetap, jumlah hakim konstitusi tinggal enam dari seharusnya sembilan orang. Satu orang hakim lain, Akil Mochtar, ditangkap KPK sebelumnya karena dugaan kasus suap. Padahal peraturan perundang-undangan menyebutkan putusan MK baru bisa diambil jika diambil minimal tujuh hakim konstitusi.

Pada Senin (23/12) lalu majelis hakim PTUN Jakarta beranggotakan Teguh Satya Bhakti, Tri Cahyadi dan Elizabeth Tobing, mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, ICW, dan Indonesian Legal Roundtable (ILR). Majelis membatalkan Keppres No. 87/P tanggal 22 Juli 2013 yang menetapkan pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi. Dalam berkas gugatan, YLBHI dan ICW menyatakan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi tidak sesuai dengan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK yang telah diubah dengan UU No 8 Tahun 2011. Makanya, YLBHI dan ICW meminta kepada PTUN Jakarta agar Keppres No 87/P Tahun 2013 dinyatakan batal. Pada sidang pembacaan putusan, majelis hakim menyatakan Keppres No 87/P Tahun 2013 yang menjadi objek sengketa batal atau tidak sah. Untuk itu, majelis hakim memerintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku tergugat untuk mencabut Keppres tersebut. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut keberadaan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 Tahun 2003 sebagai bentuk pengakuan Presiden SBY atas persoalan yang terjadi dalam proses seleksi hakim konstitusi. Keberadaan Perppu itu seolah-olah menunjukkan bahwa Presiden menyadari ada kekeliruan dalam proses pengangkatan hakim konstitusi.

Terhadap putusan ini Presiden menyatakan banding; demikian pula Patrialis Akbar sebagai penggugat intervensi. Namun langkah hukum ini dinilai dilematis. Di satu sisi, upaya banding memperlihatkan inkonsistensi sikap pemerintah karena tak sejalan dengan Perppu No. 1 Tahun 2013 yang diterbitkan Pemerintah sendiri. Di sisi lain, jika tak banding, ancaman kolaps MK ada di depan mata. Oleh karena itu, berbarengan dengan proses banding itu, mestinya pemerintah juga harus mempercepat proses seleksi dan kedua hakim MK yang Keppres pengangkatan mereka dibatalkan PTUN mundur bersyarat. Syaratnya, mundur efektif setelah hakim konstitusi baru terpilih. Langkah serupa pernah dilakukan hakim konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie.

Implikasi kasus ini bisa terjadi pasca pemilu 2014 mendatang. Jika para pihak akan terus mengupayakan langkah hukum hingga ke Mahkamah Agung (MA). Dan jika MA menjatuhkan putusan yang sama dengan PTUN dan pemerintah tidak segera mengisi kekosongan hakim konstitusi, MK akan benar-benar kolaps. Apa yang akan terjadi jia pada pemilu 2014 banyak sengketa pemilu didaftarkan ke MK, sedang pada saat itu MK tak bisa mengambil keputusan karena jumlah hakim tak mencukupi.

upaya hukum gugatan yang dilakukan YLBHI, ICW dan ILR, adalah bentuk kritik terhadap langkah Presiden yang mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi. Undang-Undang tegas menyebutkan proses seleksi calon hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Syarat ini dipenuhi pemerintah pada 2008 dengan membentuk tim seleksi yang diketuai anggota Wantimpres bidang hukum saat ini, Adnan Buyung Nasution. Tetapi dalam proses pencalonan Patrialis langkah serupa tak dilakukan. Putusan PTUN ini patut menjadi pelajaran penting bagi DPR, MA dan Pemerintah aebagai lembaga pengusul calon hakim MK, agar lebih transparan dan membuka ruang partisipasi publik dalam proses rekrutmen.

Sabtu, 28 Desember 2013

Terkenang pada yang Jauh

Kala gelap malam menyelimuti
‘Tika rintik hujan membasahi
Disini sendiri aku sayu
Terpaku termenung merindumu

Kelam langit tanpa bintang
Tumbuhkan gelisah tiada tenang
Terkenang pada yang jauh
Jiwa pun gundah rusuh

Bersama semilir angin dingin
Kupinta doa dengan yakin
Akan tiba saat bersua
Selalu bersama walau dimana

Panyabungan, Desember 2013

Kamis, 05 Desember 2013

Mandi Untuk Kekebalan




Di Kumpulan terdapat sebuah sumur tua peninggalan Assyekh Maulana Ibrahim Al Kholidi yang dibangun pada masa pecahnya perang Paderi. Selain digunakan untuk mengambil air minum, mandi dan berwudhu’ juga dipergunakan sebagai sarana perlengkapan perang. 

Baca laporan selengkapnya mengenai sumur tua ini di: http://intihawa.blogspot.com/2013/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Jejak Keramat di Kumpulan




Sejak dahulu, bahkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu Kumpulan selalu ramai dikunjungi orang. Mereka berdatangan tidak hanya dari daerah sekitarnya tetapi juga dari pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Bahkan ada pula dari luar negeri seperti Malaysia, Brunai dan Tailand. Tujuannya selain berziarah ke makam Syekh Maulana Ibrahim Alkholidi juga sekalian melakukan haul dengan ber-zikir akbar di sekitar makam. Ritual semacam ini sudah berlangsung sejak lama- kemungkinan besar sejak wafatnya Assyech pada tahun 1914 M. Namun dari sekian banyak peziarah yang berkunjung, tidak satupun mereka yang mengetahui secara pasti mengapa bagian dari sebuah desa itu disebut Kumpulan. Padahal kalau diteliti secara gaib, Kumpulan ini ternyata memiliki makna yang mengandung kekeramatan Assyeh Maulana Ibrahim Alkholidi sendiri.

Bagaimana kisahnya? Silakan baca selanjutnya di http://intihawa.blogspot.com/2013/11/jejak-keramat-di-kumpulan.html

Intihawa


Intihawa adalah media pemberitaan yang bersifat umum dan terbuka bagi siapa pun yang ingin menampilkan berita.

Adapun rubrik yang disediakan antara lain adalah fenomena alam, napak tilas, misteri dan pemecahannya, problematika cinta, kesehatan, dan lain-lain.

Untuk membaca artikel-artikel dan berita dapat dilihat di blog intihawa:  http://intihawa.blogspot.com/