Beberapa waktu lalu, Saya membaca satu artikel menarik oleh M. Risfan Sihaloho di tajdid.id yang mengulas tentang kecenderungan orientasi budaya politik harian kita yang keliru dan salah kaprah.
Menurutnya, secara umum orientasi
budaya politik kita nyatanya cenderung lebih menggandrungi “politik ruang”,
dimana hiruk pikuk kehidupan politik
kita hanya berkutat pada persoalan berebut lapak, zona, teritorial dan kursi
kekuasaan semata.
Hal ini terkait dengan apa yang
ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya
Sosial (2003). Dia mengatakan, bahwa sejauh ini seluruh energi dan perhatian
bangsa ini seakan-akan terkuaras habis untuk sebuah politik ruang atau politik
wilayah (geo-politics), berupa klaim-klaim baru atas wilayah, daerah, atau
teritorial (provinsi, kabupaten dan kecamatan) dengan segala kekayaan sumber
daya di dalamnya (alam, manusia dan
budaya).
Selain itu, lanjut Yasraf, apa
yang sesungguhnya juga tengah terjadi di atas tubuh bangsa ini adalah politik
segmentasi (politic of segmentary) tanpa akhir, berupa kegandrungan untuk
mengklaim dan mengkapling teritorial menjadi segmen-segmen provinsi, kabupaten
dan kecamatan, baik yang didorong oleh politik, ekonomi maupun kultural.
Pada hal, secara empiris kita
melihat hasil dari tradisi geopolitik hanya menghasilkan segmentasi murni, yang
setelah klaim otonomi diperoleh sesungguhnya tidak ada yang berubah kecuali
peralihan kekuasaan semata. Bahkan yang
terjadi justru adalah semacam duplikasi model geopolitik pusat yang dulunya di
daerah di tolak.
Jika energi bangsa
ini terkuras untuk geopolitik, Yasraf mengatakan tidak tersisa lagi energi utuk proses
perubahan, reformasi ataupun transformasi dalam bentuk politik waktu
(cronopolitics).
Menurutnya, dalam konteks
kenegaraan politik waktu itu identik dengan politik perubahan; yakni berkenaan
dengan persaingan ekonomi, pergerakan modal, perlombaan politik, dinamika
sosial, perubahan budaya, fluktuasi moneter, persaingan produk, percepatan
produksi, perpacuan konsumsi, manajemen waktu, perlombaan kemajuan dan
sebagainya.
Yasraf mengutip Paul Virilio di dalam Lost Dimension
(1991) yang mengatakan bahwa di dalam
dunia yang dikuasai kecepatan, sebenarnya peran geo-politics telah
diambil alih oleh cronopolitics, yang di dalamnya kecepatan, percepatan dan
tempo kehidupan yang semakin cepat mengharuskan setiap orang (juga sebuah
negara bangsa) untuk hidup dan bertahan hidup di dalam sebuah mesin dunia
(dromology machine) yang berlari kencang.
Dan konsekuensinya, di dalam
dunia yang berlari itu waktu dan kecepatan menjadi energi utama untuk
menggerakkan mesin kemajuan atau perubahan. Artinya, siapa yang menguasai
waktu, ia akan menguasai dunia.
Berangkat dari uraian di atas, jika ingin terlepas dari kutukan transisi demokrasi berkepanjangan, maka mestinya tidak ada pilihan bangsa ini harus segera mengubah orientasi kultur demokrasinya menuju “politik waktu” yang lebih bernilai secara strategis dan transformatif bagi perubahan serta kemajuan bangsa Indonesia ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar