Minggu, 13 Februari 2022

Dari Politik Ruang Menuju Politik Waktu

 


Beberapa waktu lalu, Saya membaca satu artikel menarik oleh M. Risfan Sihaloho di tajdid.id yang mengulas tentang kecenderungan orientasi budaya politik harian kita yang keliru dan salah kaprah.

Menurutnya, secara umum orientasi budaya politik kita nyatanya cenderung lebih menggandrungi “politik ruang”, dimana  hiruk pikuk kehidupan politik kita hanya berkutat pada persoalan berebut lapak, zona, teritorial dan kursi kekuasaan semata.

Hal ini terkait dengan apa yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003). Dia mengatakan, bahwa sejauh ini seluruh energi dan perhatian bangsa ini seakan-akan terkuaras habis untuk sebuah politik ruang atau politik wilayah (geo-politics), berupa klaim-klaim baru atas wilayah, daerah, atau teritorial (provinsi, kabupaten dan kecamatan) dengan segala kekayaan sumber daya  di dalamnya (alam, manusia dan budaya).

Selain itu, lanjut Yasraf, apa yang sesungguhnya juga tengah terjadi di atas tubuh bangsa ini adalah politik segmentasi (politic of segmentary) tanpa akhir, berupa kegandrungan untuk mengklaim dan mengkapling teritorial menjadi segmen-segmen provinsi, kabupaten dan kecamatan, baik yang didorong oleh politik, ekonomi maupun kultural.

Pada hal, secara empiris kita melihat hasil dari tradisi geopolitik hanya menghasilkan segmentasi murni, yang setelah klaim otonomi diperoleh sesungguhnya tidak ada yang berubah kecuali peralihan kekuasaan semata. Bahkan  yang terjadi justru adalah semacam duplikasi model geopolitik pusat yang dulunya di daerah di tolak.

Jika energi bangsa ini terkuras untuk geopolitik, Yasraf mengatakan tidak tersisa lagi energi utuk proses perubahan, reformasi ataupun transformasi dalam bentuk politik waktu (cronopolitics).

Menurutnya, dalam konteks kenegaraan politik waktu itu identik dengan politik perubahan; yakni berkenaan dengan persaingan ekonomi, pergerakan modal, perlombaan politik, dinamika sosial, perubahan budaya, fluktuasi moneter, persaingan produk, percepatan produksi, perpacuan konsumsi, manajemen waktu, perlombaan kemajuan dan sebagainya.

Yasraf  mengutip Paul Virilio di dalam Lost Dimension (1991) yang mengatakan bahwa di dalam  dunia yang dikuasai kecepatan, sebenarnya peran geo-politics telah diambil alih oleh cronopolitics, yang di dalamnya kecepatan, percepatan dan tempo kehidupan yang semakin cepat mengharuskan setiap orang (juga sebuah negara bangsa) untuk hidup dan bertahan hidup di dalam sebuah mesin dunia (dromology machine) yang berlari kencang.

Dan konsekuensinya, di dalam dunia yang berlari itu waktu dan kecepatan menjadi energi utama untuk menggerakkan mesin kemajuan atau perubahan. Artinya, siapa yang menguasai waktu, ia akan menguasai dunia.

Berangkat dari uraian di atas, jika ingin terlepas dari kutukan transisi demokrasi berkepanjangan, maka mestinya tidak ada pilihan bangsa ini harus segera mengubah orientasi kultur demokrasinya menuju “politik waktu” yang lebih bernilai secara strategis dan transformatif bagi perubahan serta kemajuan bangsa Indonesia ke depan.

Tidak ada komentar: