"Bagaimanakah perasaanmu kelak jika aku menikah? Akankah kau datang menghadiri undangan pernikahanku?" Begitu pertanyaanmu di akhir obrolan kita kemarin malam.
"Ya. Aku akan datang." Jawabku singkat dan yakin. Tapi sungguh aku tak kan bisa membohongi perasaan.
Aku tak kan sekadar
duduk manis.
Melihatmu disana duduk di pelaminan.
Walau hati dilanda gerimis.
Doaku untukmu bahagia perkawinan.
Dikau tinggalkan sudah masa gadis.
Hidup sejahtera bahagia tujuan.
"Hah?" Mestikah dijawab dengan puisi?" Katamu.
"Ya. kita bercengkrama dengan berpuisi." Jawabku.
"Aku tak bisa berpuisi. Paling Hanya sekedar coret-coret saja. Aku cuma bisa mengkhayal." Katamu lagi.
"Ya. Aku jg membuatnya dengan berkhayal kok. Maka sudikah engkau membantu aku dengan dirimu
menjadi khayalanku..? Mungkin itulah yang membuat semua kata kata muncul
bertaburan tanpa ku tahu darimana datangnya." Begitu kataku. Dan kau merespon dengan kaget.
"Astaga. Kenapa berkhayal
tentang aku? Kan aku nyata ada di depanmu?"
"Ya. Karena muatan air
haru yang dikandung awan jiwa sudah tak tertampung lagi. Maka berjatuhanlah ia
menjadi gerimis di hati yang gersang." Jawabku.
Karena kutahu..
Pabila dikau nyata di depanku..
Kuhanya bisa diam terpaku..
Namun jika dikau di alam khayalku..
Alam pikir dan lisanku serasa menjadi buku..
(Panyabungan 4 Juni 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar