Enggak masalah mau baca novel, buku puisi, kumpulan cerpen, esai, buku filsafat, buku sejarah ... yang penting kita membaca.
Kumpulan aksara sebagai jejak perjalanan menembus ruang dan waktu dalam mengeksplorasi diri dan dunia.
Sabtu, 17 Maret 2012
Kamis, 01 Maret 2012
Doa
semua harapan yang terangkai
semoga doa terkabulkan
hilang rintang segera tercapai
Sabtu, 18 Februari 2012
Peran Kita, Pemuda, dalam Perubahan Politik
Anak muda adalah kekuatan masa depan. Kita adalah generasi yang akan mewarisi dunia ini, dan oleh karena itu, penting bagi kita untuk peduli tentang politik. Mengapa? Karena setiap kebijakan dan keputusan yang kita rasakan sekarang adalah hasil dari politik yang ada. Biaya kuliah yang mahal, kesulitan mencari pekerjaan, harga bahan bakar yang terus naik, semuanya memiliki akar politik.
Tentu, kebijakan politik memengaruhi kehidupan sehari-hari kita lebih dari yang kita sadari. Ketika biaya kuliah melambung tinggi, itu bukan hanya masalah uang. Itu adalah tentang akses kita terhadap pendidikan, peluang untuk berkembang, dan impian masa depan. Begitu juga dengan pekerjaan; kebijakan politik memengaruhi lapangan kerja, upah minimum, dan perlindungan pekerja.
Harga bahan bakar yang terus naik? Ini bukan hanya masalah angka di pompa bensin. Itu adalah tentang biaya hidup, mobilitas kita, dan bahkan dampak lingkungan. Semua ini berhubungan dengan keputusan politik.
Maka, pertanyaannya adalah: apakah kita akan hanya menjadi penonton pasif atau akan beraksi? Anak muda perlu peduli tentang politik karena kita memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan. Kita bisa membawa agenda perubahan dan memberikan tuntutan kepada politisi yang berwenang.
Ingat, kita adalah pemilih masa depan. Suara kita memiliki pengaruh besar dalam menentukan siapa yang akan memimpin, dan oleh karena itu, kebijakan apa yang akan diimplementasikan. Kita memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang mewakili visi kita untuk masa depan yang lebih baik.
Kita juga memiliki akses ke berbagai platform dan media sosial yang memungkinkan kita untuk menyuarakan pandangan dan aspirasi kita. Dengan bersatu, kita dapat menjadi kekuatan yang tak terhentikan untuk perubahan positif.
Selain itu, politik bukan hanya tentang pemilu. Kita dapat terlibat dalam berbagai organisasi masyarakat, kelompok advokasi, dan aksi sosial yang fokus pada isu-isu yang kita pedulikan. Dengan begitu, kita dapat memberikan kontribusi nyata dalam membentuk kebijakan yang berdampak pada kehidupan kita.
Kaum muda, mari kita memahami bahwa politik bukanlah urusan orang lain. Ini adalah urusan kita semua. Mari kita peduli, terlibat, dan bergerak bersama untuk menciptakan perubahan yang kita inginkan. Kita adalah agen perubahan, dan masa depan kita tergantung pada keputusan yang kita ambil hari ini. Jadi, mari bersama-sama membawa perubahan positif untuk masa depan yang lebih baik.
Minggu, 05 Februari 2012
Fungsionaris Pemerintahan Tradisional Mandailing
Minggu, 08 Januari 2012
Di antara Reformasi Sosial dan Revolusi
Minggu, 01 Januari 2012
Tiap Bangsa Pasti Bangkit
Minggu, 25 Desember 2011
MAT II KMMN Bandung
Minggu, 11 Desember 2011
Demokrasi Sosial yang Berhasil
Demam Emas
Sabtu, 05 November 2011
Demokrasi Sosial itu Jalan
Selasa, 04 Oktober 2011
Penjaga Muka Proletariat
Sabtu, 03 September 2011
Takdir Massa Pekerja
Selasa, 02 Agustus 2011
Arti Demokrasi Sosial
Jumat, 08 Juli 2011
Tentang Teori Politik Marxis
Teori
politik Marxis mengacu pada pandangan politik yang berasal dari gagasan Karl
Marx dan Friedrich Engels, yang merupakan dua tokoh utama dalam gerakan Marxis.
Teori politik Marxis terkait erat dengan pandangan ekonomi Marxis dan filosofi
Marxis, yang dikenal sebagai Marxisme.
Berikut
adalah beberapa poin inti dari teori politik Marxis:
1.
Materialisme Sejarah: Marx berpendapat bahwa struktur politik suatu masyarakat
ditentukan oleh struktur ekonomi dan hubungan produksi dalam masyarakat
tersebut. Ide-ide politik dan hukum dianggap sebagai cerminan dari kepentingan
kelas dominan yang menguasai produksi.
2.
Konflik Kelas: Marx mengidentifikasi adanya konflik antara dua kelas utama
dalam masyarakat kapitalis, yaitu buruh (proletariat) dan pemilik modal
(borjuis). Konflik ini didorong oleh eksploitasi ekonomi yang dialami oleh
buruh dalam sistem kapitalis.
3.
Revolusi Proletariat: Marx percaya bahwa kapitalisme akan mencapai titik
kejenuhan dan mengalami krisis yang akhirnya akan memicu revolusi oleh buruh.
Revolusi ini akan menggulingkan sistem kapitalis dan memungkinkan proletariat
untuk membangun masyarakat sosialis di mana alat produksi dimiliki secara
kolektif.
4.
Negasi Kepemilikan Pribadi: Dalam masyarakat sosialis atau komunis yang
diharapkan, konsep kepemilikan pribadi atas alat produksi akan dihapuskan, dan
kepemilikan kolektif akan menjadi dasar untuk distribusi sumber daya.
5.
Negara sebagai Alat Kekuasaan Kelas: Menurut Marx, negara merupakan alat yang
digunakan oleh kelas borjuis untuk menegakkan dominasi mereka atas kelas
pekerja. Dalam masyarakat sosialis yang diharapkan, negara akan menyingkir
karena konflik kelas telah diatasi dan masyarakat tidak lagi terpecah menjadi
kelas-kelas yang bertentangan.
6.
Internasionalisme: Marx dan Engels menyuarakan persatuan internasional buruh
untuk mengatasi perbedaan nasional dan memperjuangkan kepentingan bersama dalam
melawan sistem kapitalis.
Meskipun
teori politik Marxis memiliki pengaruh yang besar dalam sejarah dan pemikiran
politik, banyak kritik telah diajukan terhadap implementasi praktisnya di
beberapa negara. Selain itu, ada berbagai variasi dan interpretasi teori
politik Marxis oleh para ahli dan pemikir politik, yang telah mengarah pada
beragam aliran dalam gerakan Marxis.
Jumat, 01 Juli 2011
Percaya pada Akal Sehat
Henry A. Wallace
Sabtu, 18 Juni 2011
Kutulis Namamu
Selasa, 07 Juni 2011
Berjagalah pada Sunyi
Sabtu, 14 Mei 2011
Teori-Teori Keadilan
Keadilan dalam arti luas adalah prinsip bahwa orang menerima apa yang pantas mereka terima, dengan interpretasi tentang apa yang kemudian dianggap "layak" yang dipengaruhi oleh berbagai bidang, dengan banyak sudut pandang dan perspektif yang berbeda, termasuk konsep kebenaran moral berdasarkan etika, rasionalitas, hukum, agama, kesetaraan dan keadilan.
Tentang Angin
Sabtu, 16 April 2011
Cinta itu Nyata
Sabtu, 09 April 2011
Penguasa Filsuf
Plato dalam bukunya The Republic, menyampaikan dialog tentang Socrates dan ajarannya tentang jiwa seseorang yang memiliki tiga bagian – akal, roh dan keinginan.
Sabtu, 12 Maret 2011
Segalanya Bagiku
Sabtu, 05 Maret 2011
Dekadensi dan Revolusi
Rabu, 09 Februari 2011
Kusambut Datangnya Petang..
Sabtu, 05 Februari 2011
Ketika Pertama Kumelihatmu
Sabtu, 22 Januari 2011
Kekosongan yang Membinasakan
Menganggur
Minggu, 09 Januari 2011
Cerminan Diri
Minggu, 10 Oktober 2010
Hubungan Hukum dengan Moralitas dan Keadilan
Definisi hukum seringkali menimbulkan pertanyaan sejauh mana hukum berkaitan dengan moralitas. Ajaran utilitarian John Austin mengatakan bahwa hukum adalah yang perintah yang didukung oleh ancaman sanksi dari yang berdaulat, kepada siapa orang yang harus taat. Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa hukum pada dasarnya mencerminkan hukum alam yang mengandung moral dan tidak dapat diubah.
Konsep "hukum
kodrat" muncul dalam filsafat Yunani kuno secara bersamaan dan dalam hubungannya
dengan gagasan keadilan dan masuk ke arus utama budaya Barat melalui
tulisan-tulisan Thomas Aquinas, terutama karyanya Risalah tentang Hukum. Hugo
Grotius, pendiri sistem hukum kodrat yang murni rasionalistik, berpendapat
bahwa hukum muncul dari dorongan sosial — seperti yang ditunjukkan Aristoteles
— dan alasan.
Immanuel Kant percaya
bahwa keharusan moral mensyaratkan hukum "dipilih seolah-olah hukum itu
harus dipegang sebagai hukum universal alam". Jeremy Bentham dan muridnya
Austin, mengikuti David Hume, percaya bahwa ini menggabungkan masalah
"adalah" dan apa "seharusnya". Bentham dan Austin memperjuangkan
positivisme hukum; bahwa hukum yang nyata sepenuhnya terpisah dari "moralitas".
Kant juga dikritik oleh Friedrich Nietzsche, yang menolak prinsip kesetaraan,
dan percaya bahwa hukum berasal dari keinginan untuk berkuasa, dan tidak dapat
diberi label sebagai "moral" atau "tidak bermoral".
Pada tahun 1934, filsuf
Austria Hans Kelsen melanjutkan tradisi positivis dalam bukunya The Pure Theory
of Law. Kelsen percaya bahwa meskipun hukum terpisah dari moralitas, ia
diberkahi dengan "normativitas", yang berarti kita harus mematuhinya.
Sementara hukum positif adalah peraturan (misalnya denda untuk membalik di
jalan raya adalah Rp. 5.000.000); hukum memberi tahu kita apa yang "harus"
kita lakukan. Dengan demikian, setiap sistem hukum dapat dihipotesiskan
memiliki norma dasar (Grundnorm) yang memerintahkan kita untuk patuh. Lawan
utama Kelsen, Carl Schmitt, menolak positivisme dan gagasan negara hokum karena
ia tidak menerima keunggulan prinsip normatif abstrak atas posisi dan keputusan
politik yang konkret. Oleh karena itu,
Schmitt menganjurkan yurisprudensi pengecualian (keadaan darurat), yang
menyangkal bahwa norma hukum dapat mencakup semua pengalaman politik.
Kemudian di abad ke-20,
HLA Hart menyerang Austin karena penyederhanaannya dan Kelsen karena fiksinya
dalam The Concept of Law. Hart berpendapat hukum adalah sistem aturan, dibagi
menjadi primer (aturan perilaku) dan yang sekunder (aturan yang ditujukan
kepada pejabat untuk mengelola aturan primer). Aturan sekunder selanjutnya
dibagi menjadi aturan ajudikasi (untuk menyelesaikan perselisihan hukum),
aturan perubahan (memperbolehkan undang-undang untuk diubah) dan aturan
pengakuan (memungkinkan undang-undang diidentifikasi sebagai valid). Dua
mahasiswa Hart melanjutkan debat: Dalam bukunya Law's Empire, Ronald Dworkin
menyerang Hart dan para positivis karena menolak memperlakukan hukum sebagai
masalah moral. Dworkin berpendapat bahwa hukum adalah "konsep
interpretatif ", yang mengharuskan hakim untuk menemukan solusi yang
paling tepat dan paling adil untuk suatu sengketa hukum, mengingat tradisi konstitusional
mereka. Joseph Raz, di sisi lain, membela pandangan positivis dan mengkritik
pendekatan" tesis sosial lunak "Hart dalam The Authority of Law. Raz
berpendapat bahwa hukum adalah otoritas, dapat diidentifikasi murni melalui
sumber-sumber sosial dan tanpa mengacu pada penalaran moral. Dalam
pandangannya, kategorisasi aturan di luar peran mereka sebagai instrumen
otoritatif dalam mediasi sebaiknya diserahkan kepada sosiologi bukan
yurisprudensi.
Jumat, 01 Oktober 2010
Bukan Kura-Kura Dalam Perahu
perahu di dayung membawa kelapa..
bukan pura-pura tidak tahu..
dakulah yang bingung tuk berkata apa..
bukan hanya kelapa kiranya..
perahu juga membawa beras..
bukan sekali dua kali sudah ditanya..
karena ada yang belum jelas..
pendayung rehat melepas lelah..
rentangkan badan di atas beras..
sungguh akulah yang bersalah..
karena tak mampu buat memperjelas..
Rabu, 29 September 2010
Tangis Mon-monon
oban silua baen lehenon
saputangan baya madung tap-tap
patunda ni tangis marcapur mon-mon
(Tangis ni namarun do daon, mancit ulu sampe marilu, marcampur mon mon muse.. ngada baen nasedih sanga mangua koum..)
-
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanju...
-
Ada dua istilah, yakni Logical Framework (LF atau Logframe) dan Logical Framework Approach (LFA) yang terkadang membingungkan. LogFr...
-
T ahapan keputusan adalah tahapan dalam manajemen rantai pasokan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang terkait dengan beberapa pro...