Fenomena “no viral, no justice” mencerminkan kondisi
memprihatinkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era digital, media
sosial menjadi alat untuk menyuarakan ketidakadilan. Namun, kenyataan bahwa
keadilan sering kali bergantung pada seberapa viral sebuah kasus menunjukkan
kelemahan mendasar dalam sistem hukum. Dalam esai ini, kita akan menganalisis
akar permasalahan ini dan dampaknya terhadap masyarakat serta mencari solusi
yang relevan untuk mengatasinya.
Keadilan yang Bergantung pada Popularitas
Di banyak kasus, perhatian publik melalui media sosial telah
menjadi katalisator untuk mendorong tindakan hukum. Beberapa contoh nyata
menunjukkan bahwa kasus-kasus yang mendapat sorotan luas cenderung diproses
lebih cepat oleh aparat penegak hukum. Sayangnya, ini menciptakan persepsi
bahwa hukum tidak lagi berjalan berdasarkan prinsip keadilan, melainkan atas
dasar tekanan sosial. Korban yang tidak memiliki akses ke platform digital atau
yang kasusnya tidak cukup “menjual” di mata publik sering kali tidak
mendapatkan perhatian yang sama. Akibatnya, sistem hukum menjadi diskriminatif,
membatasi akses keadilan hanya bagi mereka yang mampu menarik simpati massa.
Kelemahan Institusi Penegakan Hukum
Fenomena ini mencerminkan lemahnya integritas institusi
hukum di Indonesia. Idealnya, hukum seharusnya berjalan independen, berdasarkan
fakta dan aturan yang berlaku, bukan berdasarkan opini publik. Namun, kurangnya
transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas membuat kepercayaan masyarakat
terhadap institusi hukum merosot tajam. Masyarakat merasa bahwa satu-satunya
cara untuk mendapatkan keadilan adalah melalui tekanan massa, bukan melalui
mekanisme hukum yang ada.
Dampak Sosial dan Psikologis
Ketergantungan pada viralitas untuk mendapatkan keadilan
memiliki dampak sosial yang luas. Pertama, masyarakat cenderung memandang media
sosial sebagai ruang pengadilan alternatif. Hal ini mengaburkan batas antara
opini publik dan keputusan hukum yang seharusnya berbasis fakta. Kedua, korban
dan pelaku bisa mengalami peradilan oleh massa (trial by the crowd), yang
sering kali tidak adil dan melanggar asas praduga tak bersalah. Ketiga,
fenomena ini berpotensi memicu rasa frustrasi dan ketidakberdayaan bagi mereka
yang kasusnya tidak mendapat perhatian publik.
Mencari Solusi
Untuk mengatasi fenomena “no viral, no justice,” diperlukan
reformasi menyeluruh dalam sistem hukum. Berikut beberapa langkah yang dapat
dilakukan:
- Peningkatan
Transparansi:
Institusi hukum harus lebih terbuka dalam menangani kasus, termasuk
memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang proses dan
perkembangan kasus.
- Peningkatan
Profesionalisme Aparat Hukum: Pelatihan yang berkelanjutan dan pengawasan ketat
terhadap aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memastikan mereka
menjalankan tugas dengan integritas.
- Penguatan
Sistem Pengawasan:
Dibutuhkan mekanisme pengawasan independen untuk memantau kinerja aparat
penegak hukum dan memastikan bahwa mereka bertindak sesuai dengan aturan
yang berlaku.
- Pendidikan
Hukum untuk Publik:
Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum agar
tidak sepenuhnya bergantung pada media sosial sebagai sarana mencari
keadilan.
- Pemanfaatan
Teknologi secara Profesional: Media sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk
memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hukum, tetapi penggunaannya
harus diatur agar tidak menciptakan ketergantungan pada viralitas.
Penutup
Fenomena “no viral, no justice” menunjukkan bahwa sistem
hukum di Indonesia sedang menghadapi krisis legitimasi. Ketergantungan pada
viralitas sebagai alat untuk mendapatkan keadilan tidak hanya merusak
kepercayaan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga menciptakan ketidakadilan
baru. Diperlukan upaya kolektif dari semua pihak — pemerintah, institusi hukum,
media, dan masyarakat — untuk memastikan bahwa keadilan tidak lagi menjadi
barang dagangan popularitas. Hukum harus kembali pada prinsip utamanya:
memberikan keadilan tanpa memandang siapa yang lebih nyaring bersuara.