Great organization is always built by
great people. Begitu
sebuah kredo yang layak selalu kita kenang. Jim Collin dalam masterpiece-nya, Good to Great juga menulis, perusahaan-perusahaan
legendaris selalu mengawali langkahnya dengan statement seperti ini : First
Who, then What (cari dulu orang terbaik, baru berpikir tentang strategi. Bukan
sebaliknya).
Maka meracik human capital strategy yang
mencorong merupakan sebuah keharusan.
Apa saja konten human capital strategy
yang layak ditelisik? Sajian ini akan membedahnya untuk Anda semua.
Sejatinya, setiap human capital strategy
yang solid harus selalu diberangkatkan dari keseluruhan fase dalam fungsi
SDM : mulai dari
fase rekrutmen, pengelolaan kinerja, hingga ke tahapan pengembangan karir dan
motivasi setiap anggota organisasi.
Dalam fase rekrutmen, nyaris semua Manajer HRD di tanah air punya keluhan yang klasik :
kini makin susah mendapatkan manajer-manajer (middle level managers) yang
andal. Talent war – bajak membajak talenta terbaik – akhirnya menjadi sebuah
fakta yang tak terelakkan.
Sebab seperti yang pernah diteliti oleh
Boston Consulting Group, dalam kurun 15 tahun ke depan Indonesia memang akan
sangat kekurangan manajer-manajer andal untuk menopang laju pertumbuhan bisnis
yang kian kencang.
Pada sisi lain, karyawan baru dari level
Fresh Graduates yang datang dari Generasi Y (atau Millenial Generation or
Digital Generation) juga acap dipandang punya etos kerja yang lebih letoy
dibanding generasi jaman pre-internet.
Mungkin kultur digital life yang serba
bergegas, serba penuh distraksi ikut membentuk “budaya kerja baru” di kalangan
para generasi Milenial.
Tantangan merekrut manajer-manajer andal
ada baiknya diselesaikan dengan cara membangun Leadership
Center yang berkelas
(semacam GE Learning Academy, misalnya).
Membangun calon-calon manajer masa depan
secara internal, meski butuh waktu dan energi yang tak sedikit, menjanjikan
adanya supply manajer yang lebih konstan. Dan siap ditarik untuk menghela
ekspansi bisnis yang kencang.
Generasi Milenial (fresh graduates) layak
dikelola dengan cara-cara yang inovatif. Jika perusahaan mampu menyediakan
platform mobile learning atau mobile work application (apps) yang keren dan
multifungsi, mungkin itu bisa membuat generasi internet itu lebih terpacu
produktivitasnya (sebab dunia mereka saat ini memang sudah bergerak ke arah “mobile digital life”).
Dalam fase pengelolaan kinerja, setiap
organisasi bisnis kini sudah saatnya bergerak ke arah result yang terukur
(dengan performance scorecard dan measurement yang obyektif). Strategi
pengelolaan kinerja tak akan pernah bergerak kemana-mana saat organisasi itu
tidak punya indikator kinerja yang jelas dan
terukur untuk
beragam posisi kunci dalam perusahaannya.
Pengelolaan kinerja berbasis KPI (key performance indicators) dengan kata lain menjadi sebuah
kebutuhan yang layak segera diaplikasikan. Dan ini dia : hasilnya perlu terus
direview secara tekun dan konsisten agar terbagun apa yang disebut sebagai “performance-based
culture”.
Dalam fase training and development,
mungkin sudah saatnya ditinggalkan pola hit and run : beri training kepada
karyawan, setelah itu ditinggalkan begitu saja. Tidak ada pemantauan yang
sistematis. Tidak ada ikhtiar untuk mengukur dampaknya terhadap kinerja bisnis.
Manfaat training hanya akan “lalu bersama angin” – gone with the wind.
Pola action-based learning, atau pelatihan
yang berbasis pada problem-problem nyata yang ada dalam pekerjaan terbukti
lebih efektif. Dalam proses ini, kegiatan training berlangsung secara kontinyu,
dalam sesi-sesi pertemuan pendek (2 jam setiap minggu, dalam periode enam
bulan).
Dalam periode itu, terus dilakukan proses
check and recheck : apakah materi pelatihan benar-benar berdampaknya nyata bagi
peningkatan kinerja tim atau tidak.
Dalam fase talent management, sudah
saatnya pengelola HRD menerapkan prinsip Pareto : fokuskan semua energi pada
hanya posisi-posisi kunci dalam perusahaan (yang seringkali jumlahnya hanya
30%). Namun sejalan dengan prinsip Pareto : yang 30 % ini acapkali men-drive
80% kinerja bisnis perusahaan.
Agak aneh, jika perusahaan bernafsu untuk
melakukan pengembangan Talent pada SEMUA POSISI. Pendekatan bergaya sosialis
ini hanya akan menghabiskan terlalu banyak dana, energi dan tidak ada fokus.
Maka lakukan identifikasi pada 30% – 40%
posisi-posisi yang krusial bagi hidup matinya perusahaan. Posisi-posisi yang
jika tidak ada, segera akan membuat perusahaan mati dan gagal beroperasi. Lalu,
alokasikan segenap energi dan pikiran untuk membuat yang 40% itu bisa memiliki
kualitas setara kelas dunia.
Demikianlah beberapa poin dan fase yang
layak dielaborasi saat kita hendak meracik strategi human capital yang solid
dan mumpuni.
Great people will grow our
business. Bad people will destroy our future.
__________________________________________________________