Selasa, 20 Agustus 2013

Merah Putih Berkibar Di Puncak Sorik Marapi




MADINA– Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk memperingati dan merayakan HUT ke- 68 Kemerdekaan Republik Indonesia. Tak terkecuali sejumlah organisasi di Kabupaten Mandailing Natal yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Merah Putih.

Dan, sebagai wujud kecintaan dan nasionalisme, mereka mendaki puncak gunung Sorik Marapi di Desa Sibanggor Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Madina untuk mengibarkan bendera merah putih berukuran 3 x 5 meter pada Sabtu (17/8).

“Ini adalah tim gabungan terdiri 49 personil; dari Alfa Adventure Tim, For Jungle Madina, Karang Taruna Madina, TNT Madina, dan KSR PMI BLU STAIM,” sebut  Ketua Alfa Adventure, Ahmadi Anwar dan Ketua Karang Taruna Madina M Alhasan Nasution, kepada wartawan, Minggu (18/8).

Dikatakan Al-Hasan, lima tim itu telah berhasil melakukan pendakian hingga ke puncak gunung, lalu tim mengadakan upacara penaikan bendera di puncak gunung berketinggian 2.145 meter itu. Butuh waktu tujuh jam untuk sampai ke puncak gunung tersebut.

Tim berangkat dari Desa Sibanggor Julu sekitar pukul 07.00 WIB dan sampai di puncak sekitar pukul 14.00 WIB.

Dijelaskan Al-Hasan, kegiatan ini adalah salah satu bentuk akumulasi dan eksperesi kreatif generasi muda Madina dalam menjiwai makna yang lebih esensial dari pelaksanaan HUT RI tahun ini.

Ekspedisi merah putih diharapkan menjadi bentuk cerminan dari simbol kegigihan, perjuangan dengan pantang mundur, heroisme, patriotisme, nasionalisme dan keringat yang dipersembahkan para pejuang untuk negeri.

“Ekspedisi merah putih ini baru pertama kali dilaksanakan dalam sejarah perjalanan Kabupaten Madina. Ajang Ekspedisi Merah Putih ke Puncak Gunung Sorik Marapi adalah murni sebagai ekspresi unik dari generasi muda Madina dalam memaknai hari kemerdekaan RI.

Kegiatan ini mengambil tajuk ‘Karena Alam Kami Menyatu, untuk Merah Putih Kami Bersatu,” pungkas Al-Hasan. (wan)


Kamis, 08 Agustus 2013

Kilas Balik Energi di Atas Catatan Harian


Oleh: Khairul F. Sean Nasution



Aku tak tahu darimana harus memulai tulisan ini. Kucoba menyusun outline, tak bisa. Persoalannya terlalu banyak yang ingin kutulis dan kusampaikan. Akhirnya kutulis saja apa yang ada dalam fikiranku hingga jadinya seperti ini.

Aku hanya ingin bercerita dan berbagi pengalaman tentang apa yang kulihat, kudengar, kuketahui dan kurasakan beberapa tahun silam kala hati, fikiran dan badan melanglang buana hingga sampai ke Pelabuhan Ratu, tempat orang berwisata itu. Kala itu aku memperhatikan seorang gadis yang duduk menyendiri di atas tumpukan karang. Kakinya terjulur ke laut hingga telapaknya dijilati oleh ombak yang meyapa ramah. Sama sekali ia tak peduli dengan kehadiranku. Tatap matanya nampak mengarah jauh ke laut lepas. Seperti sedang menanti kapal tiba. Tetapi ...ah! Bukan. Ia tidak sedang menanti sesuatu. Sebab tatap matanya begitu hampa. Kosong. Tak ada gejolak meski gulungan ombak berderai di kakinya. Kudekati dia perlahan dan dengan sepenuh hormat kuucapkan salam. Ia menjawab dengan senyuman lalu kemudian tatap matanya beralih lagi ke laut lepas.

Dengan caraku sendiri, gadis itu kupancing bercerita tentang dirinya dan semua apa yang terjadi dengannya. Ia lalu menjelaskan padaku siapa dirinya sebenarnya. Namanya Isma. Lahir dan tinggal di Bandung. Setamat sekolah bekerja di sebuah perusahaan tekstil dan berkenalan dengan seorang karyawan bernama Bono, yang juga bekerja di perusahaan itu. Dari perkenalan itu timbullah bait-bait cinta di hati Isma, mengalun indah dan menyenandungkan asmara hingga tiada lagi hari tanpa cinta. Akibatnya dia tak berkonsentrasi dengan pekerjaan hingga akhirnya dipecat.

Walaupun begitu, Isma tak menyesali nasibnya. “Ngapain lagi bekerja sebab Bono sudah mempersiapkan lamaran,” katanya. Rupanya Bono berjanji bakal melamarnya menjadi isteri bulan ini juga.

Namun apa mau dikata, langkah, rezeki, jodoh dan maut sudah ditentukan oleh Tuhan Sang Khaliq penguasa alam. Bono tak bisa menepati janjinya sebab rupanya selama ini diam-diam ia menjalin hubungan kasih dengan gadis lain. Kasih mereka berbuah aib,yakni gadis itu hamil di luar nikah. Terpaksa Bono meninggalkan Isma dan menikah dengan gadis itu untuk menutupi aib dan sebagai bukti pertanggung jawaban. Tinggallah Isma seorang diri, merenung di kala sunyi, menangis di kala sepi, menahan duka melawan pilu hingga hidupnya tiada menentu bagaikan sekeping papan di tengah lautan yang terombang-ambing ke sana-kemari lalu hancur diterpa badai.

Alangkah malang nasibmu,Isma,ucapku dalam hati.Kupandang sejenak wajahnya. Ada butir-butir air bening di bawah matanya. Entah air mata atau hempasan air laut, aku tak tahu. Dan aku memang tidak perlu tahu. Karena menurutku, wajarlah ia menangis agar pilu tidak merasuk kalbu. Wajarlah ia mengungkapkan kesedihan agar hati sedikit terobati. Wajarlah ia berkeluh kesah pada ombak yang tiada berhenti mengusik, pada matahari yang bersinar damai, pada angin yang membelai gerai rambutnya jika semua itu bisa membuat jiwanya tenteram.Akan tetapi lebih pas rasanya bila ia menuliskan keluh kesahnya ini pada catatan harian atau diary agar ada petunjuk yang menyinari hati. Bukankah Karen Baikie,seorang clinical psychologist dari University of New South Wales pernah meneliti lalu menganjurkan agar menulis peristiwa yang menimpa diri terutama peristiwa traumatik yang membangkitkan emosi. Sengaja penulisan hal-hal demikian dianjurkannya karena menulis peristiwa yang menggugah emosi dapat memperbaiki kesehatan tubuh fisik dan mental. Bukankah hasil-hasil penelitian para ahli termasuk James Pennebaker, Kiecolt-Glaser,dan G.Wallas yang pada prinsipnya juga menyimpulkan bahwa menulis hal-hal traumatik dapat memperbaiki fungsi paru dan mengalami penurunan rasa sakit rematik serta dapat memahami beragam hal sehingga fikirannya menjadi semakin cerdas. Dengan demikian daya kreatif dan inovatif lebih cepat termunculkan.

Kelihatannya Isma mengerti apa yang kumaksud. Raut wajahnya cerah kembali. Dia tersenyum kemudian berkata : ”Ajarilah aku cara menulis catatan harian agar fikiran tenang dan bisa melupakan masa lalu!”

Kuberikan kepadanya salinan naskah yang isinya memaparkan cara mengolah catatan harian  agar dapat mengungkap fikiran bawah sadar. Senyumnya semakin mengembang saat menerima salinan naskah itu. Tatap matanya berbinar seolah mengucapkan terima kasih.

oOo

Setahun yang lalu, kuterima sepucuk surat dari Isma. Dalam surat itu ia bercerita tentang usaha garmennya yang semakin maju. Katanya sejak dirinya rajin menulis catatan harian, berbagai ilham masuk ke dalam fikirannya. Daya kreatifnya pun tumbuh dan berkembang.”Kapan naskah itu kita terbitkan,Rul?”Tanyanya dalam surat itu.

  Aneh. Surat itu memang sampai sekarang tak pernah kubalas. Padahal sewaktu suratnya itu kuterima, fikiranku sedang berkecamuk memikirkan apa kira-kira judul yang cocok untuk naskah yang dimaksudnya itu apabila diterbitkan nanti. Akujuga tidak tinggal diam. Berbagai macam kalimat kutulis sebagai pertimbangan untuk mendapatkan judul. Namun tak ada yang cocok menurutku. Akhirnya sewaktu melaksanakan ibadah shalat Jum’at, dan pada waktu khatib sedang membaca khutbah, kupanjatkan doa kepada Allah agar diberikan petunjuk sehingga aku bisa menentukan judul naskah buku yang kutulis. Alhamdulillah, begitu muazzin membacakan iqomat,judul buku itu segera terlintas di dalam hatiku yaitu: Energi Di atas Catatan Harian.

Selepas shalat Jum’at, aku pun segera menuliskan judul buku tersebut. Sekarang buku Energi Diatas Catatan Harian telah terbit. Apakah Isma sudah mengetahui atau belum jika buku itu telah terbit? Entahlah!