Oleh: Khairul F. Sean Nasution
Aku tak tahu darimana harus memulai tulisan ini. Kucoba
menyusun outline, tak bisa. Persoalannya terlalu banyak yang ingin kutulis dan
kusampaikan. Akhirnya kutulis saja apa yang ada dalam fikiranku hingga jadinya
seperti ini.
Aku hanya ingin bercerita dan berbagi pengalaman tentang apa
yang kulihat, kudengar, kuketahui dan kurasakan beberapa tahun silam kala hati,
fikiran dan badan melanglang buana hingga sampai ke Pelabuhan Ratu, tempat
orang berwisata itu. Kala itu aku memperhatikan seorang gadis yang duduk
menyendiri di atas tumpukan karang. Kakinya terjulur ke laut hingga telapaknya
dijilati oleh ombak yang meyapa ramah. Sama sekali ia tak peduli dengan
kehadiranku. Tatap matanya nampak mengarah jauh ke laut lepas. Seperti sedang
menanti kapal tiba. Tetapi ...ah! Bukan. Ia tidak sedang menanti sesuatu. Sebab
tatap matanya begitu hampa. Kosong. Tak ada gejolak meski gulungan ombak
berderai di kakinya. Kudekati dia perlahan dan dengan sepenuh hormat kuucapkan
salam. Ia menjawab dengan senyuman lalu kemudian tatap matanya beralih lagi ke
laut lepas.
Dengan caraku sendiri, gadis itu kupancing bercerita tentang
dirinya dan semua apa yang terjadi dengannya. Ia lalu menjelaskan padaku siapa
dirinya sebenarnya. Namanya Isma. Lahir dan tinggal di Bandung. Setamat sekolah bekerja di sebuah
perusahaan tekstil dan berkenalan dengan seorang karyawan bernama Bono, yang
juga bekerja di perusahaan itu. Dari perkenalan itu timbullah bait-bait cinta
di hati Isma, mengalun indah dan menyenandungkan asmara hingga tiada lagi hari tanpa cinta.
Akibatnya dia tak berkonsentrasi dengan pekerjaan hingga akhirnya dipecat.
Walaupun begitu, Isma tak menyesali nasibnya. “Ngapain lagi
bekerja sebab Bono sudah mempersiapkan lamaran,” katanya. Rupanya Bono berjanji
bakal melamarnya menjadi isteri bulan ini juga.
Namun apa mau dikata, langkah, rezeki, jodoh dan maut sudah
ditentukan oleh Tuhan Sang Khaliq penguasa alam. Bono tak bisa menepati
janjinya sebab rupanya selama ini diam-diam ia menjalin hubungan kasih dengan
gadis lain. Kasih mereka berbuah aib,yakni gadis itu hamil di luar nikah.
Terpaksa Bono meninggalkan Isma dan menikah dengan gadis itu untuk menutupi aib
dan sebagai bukti pertanggung jawaban. Tinggallah Isma seorang diri, merenung
di kala sunyi, menangis di kala sepi, menahan duka melawan pilu hingga hidupnya
tiada menentu bagaikan sekeping papan di tengah lautan yang terombang-ambing ke
sana-kemari lalu hancur diterpa badai.
Alangkah malang
nasibmu,Isma,ucapku dalam hati.Kupandang sejenak wajahnya. Ada butir-butir air bening di bawah matanya.
Entah air mata atau hempasan air laut, aku tak tahu. Dan aku memang tidak perlu
tahu. Karena menurutku, wajarlah ia menangis agar pilu tidak merasuk kalbu.
Wajarlah ia mengungkapkan kesedihan agar hati sedikit terobati. Wajarlah ia
berkeluh kesah pada ombak yang tiada berhenti mengusik, pada matahari yang
bersinar damai, pada angin yang membelai gerai rambutnya jika semua itu bisa
membuat jiwanya tenteram.Akan tetapi lebih pas rasanya bila ia menuliskan keluh
kesahnya ini pada catatan harian atau diary agar ada petunjuk yang menyinari
hati. Bukankah Karen Baikie,seorang clinical psychologist dari University of New South Wales pernah meneliti lalu
menganjurkan agar menulis peristiwa yang menimpa diri terutama peristiwa
traumatik yang membangkitkan emosi. Sengaja penulisan hal-hal demikian
dianjurkannya karena menulis peristiwa yang menggugah emosi dapat memperbaiki
kesehatan tubuh fisik dan mental. Bukankah hasil-hasil penelitian para ahli
termasuk James Pennebaker, Kiecolt-Glaser,dan G.Wallas yang pada prinsipnya
juga menyimpulkan bahwa menulis hal-hal traumatik dapat memperbaiki fungsi paru
dan mengalami penurunan rasa sakit rematik serta dapat memahami beragam hal
sehingga fikirannya menjadi semakin cerdas. Dengan demikian daya kreatif dan
inovatif lebih cepat termunculkan.
Kelihatannya Isma mengerti apa yang kumaksud. Raut wajahnya
cerah kembali. Dia tersenyum kemudian berkata : ”Ajarilah aku cara menulis
catatan harian agar fikiran tenang dan bisa melupakan masa lalu!”
Kuberikan kepadanya salinan naskah yang isinya memaparkan
cara mengolah catatan harian agar dapat
mengungkap fikiran bawah sadar. Senyumnya semakin mengembang saat menerima
salinan naskah itu. Tatap matanya berbinar seolah mengucapkan terima kasih.
oOo
Setahun yang lalu, kuterima sepucuk surat dari Isma. Dalam surat itu ia bercerita tentang usaha
garmennya yang semakin maju. Katanya sejak dirinya rajin menulis catatan
harian, berbagai ilham masuk ke dalam fikirannya. Daya kreatifnya pun tumbuh
dan berkembang.”Kapan naskah itu kita terbitkan,Rul?”Tanyanya dalam surat itu.
Aneh. Surat itu memang sampai
sekarang tak pernah kubalas. Padahal sewaktu suratnya itu kuterima, fikiranku
sedang berkecamuk memikirkan apa kira-kira judul yang cocok untuk naskah yang
dimaksudnya itu apabila diterbitkan nanti. Akujuga tidak tinggal diam. Berbagai
macam kalimat kutulis sebagai pertimbangan untuk mendapatkan judul. Namun tak
ada yang cocok menurutku. Akhirnya sewaktu melaksanakan ibadah shalat Jum’at,
dan pada waktu khatib sedang membaca khutbah, kupanjatkan doa kepada Allah agar
diberikan petunjuk sehingga aku bisa menentukan judul naskah buku yang kutulis.
Alhamdulillah, begitu muazzin membacakan iqomat,judul buku itu segera terlintas
di dalam hatiku yaitu: Energi Di atas Catatan Harian.
Selepas shalat Jum’at, aku pun segera menuliskan judul buku
tersebut. Sekarang buku Energi Diatas Catatan Harian telah terbit. Apakah Isma
sudah mengetahui atau belum jika buku itu telah terbit? Entahlah!