Sabtu, 23 Agustus 2025

Pengampunan Massal Prabowo: Rekonsiliasi atau Politik Balas Budi?

Awal Agustus 2025, Indonesia dikejutkan dengan langkah besar Presiden Prabowo Subianto. Sebanyak 1.178 narapidana resmi dibebaskan, termasuk tokoh politik macam Hasto Kristiyanto dan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong. Dan ini baru tahap pertama—target besarnya adalah 44.000 tahanan yang akan menikmati program pengampunan.

Langkah ini langsung jadi buah bibir. Ada yang menyebutnya sebagai “politik pemaaf” demi menyatukan bangsa, ada juga yang curiga ini hanya strategi untuk merangkul lawan-lawan politik.

Ada Dasar Hukumnya, Kok

Biar jelas, keputusan ini bukan asal-asalan. Konstitusi Indonesia memang memberi Presiden kewenangan untuk memberi grasi, amnesti, dan abolisi. Itu tertuang di UUD 1945 Pasal 14. Ditambah lagi ada UU Grasi dan UU Pemasyarakatan yang mengatur teknisnya. Jadi, dari sisi hukum, langkah ini sah dan legal.

Apa Untungnya?

Kalau dilihat dari sisi positif, ada beberapa hal yang bisa jadi nilai plus:

  • Politik adem ayem: Membebaskan tokoh dari kubu yang dulu oposisi bisa bikin suhu politik turun.
  • Kemanusiaan: Keluarga napi bisa bernafas lega, apalagi di momen 80 tahun kemerdekaan.
  • Praktis: Penjara kita sudah penuh sesak. Membebaskan ribuan orang jelas mengurangi beban negara.

Tapi, Kritiknya Nggak Kalah Keras

Di sisi lain, publik juga punya pertanyaan besar:

  • Bagaimana dengan napi korupsi? Kalau mereka ikut bebas, apa nggak kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi?
  • Apakah ini rekonsiliasi tulus atau sekadar politik balas budi? Publik wajar curiga, apalagi yang dibebaskan ada tokoh politik besar.
  • Efek jangka panjangnya apa? Jangan sampai napi atau politisi ke depan berpikir: “Tenang aja, toh nanti bisa dapat grasi.”

Jadi, Apa Kesimpulannya?

Kebijakan Prabowo ini memang berani. Ia bisa dikenang sebagai presiden yang berusaha menyatukan bangsa di momen emas 80 tahun Indonesia merdeka. Tapi ia juga bisa dicatat sebagai pemimpin yang memberi ruang kompromi untuk elite politik yang pernah bermasalah.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah ini rekonsiliasi tulus, atau justru politik balas budi yang dibungkus kata-kata manis? Jawabannya ada di tangan publik—dan tentu di langkah Presiden selanjutnya.

Selasa, 15 Juli 2025

Air yang Tenang



Seperti air yang tenang mengusap tepi,
kau hadir bukan untuk menerjang,
melainkan menenangkan badai yang menghuni,
suara gaduh yang lelah dalam riuh terang.

Bukan gelegak yang kau bawa,
melainkan napas dalam dan sabar langkah,
mengalir, pelan namun pasti arahnya,
menuju cakrawala di ujung asa dan cita.

Kekuatanmu bukan dalam teriakan,
tapi dalam diam yang menyejukkan,
menyentuh hati yang karam dalam kebingungan,
membimbing jiwa pulang dalam pelukan ketenangan.

Biarlah dunia tergesa dan berseru,
kau tetap melaju, walau perlahan,
karena tujuan tak perlu gemuruh,
cukup aliran yang setia pada harapan.

Selasa, 08 Juli 2025

Menerima Koreksi, Menyampaikan Perspektif


Hari ini, seperti hari-hari lainnya, saya belajar lagi satu hal penting di dunia kerja: bahwa komunikasi bukan hanya soal menyampaikan, tapi juga soal memahami—dan lebih jauh lagi, menyambungkan dua sisi dari satu kenyataan.

Ada satu momen hari ini ketika saya menerima koreksi dari atasan. Sebuah catatan yang disampaikan dengan niat baik, untuk kebaikan bersama dan untuk perbaikan sistem. Saya menyimaknya dengan rasa hormat dan penuh perhatian, meskipun jujur, hati kecil saya sempat tersentuh—bukan karena saya merasa disalahkan, tetapi karena saya merasa belum sepenuhnya mampu memperlihatkan niat dan usaha saya yang sebenarnya.

Dalam hati saya berkata, “Terima kasih atas perhatian dan koreksi yang disampaikan. Saya mohon izin untuk menjelaskan sedikit dari sisi saya, bukan untuk membela diri, tapi agar kita punya gambaran yang lebih utuh.”

Ucapan itu akhirnya saya sampaikan secara langsung. Bukan dalam nada defensif, tetapi dalam semangat menyatukan sudut pandang. Terkadang, satu masalah terlihat keliru jika dilihat dari satu sisi, padahal di baliknya ada niat baik yang tersembunyi, atau keterbatasan yang belum sempat terungkapkan.

Saya belajar bahwa bekerja bukan hanya tentang hasil akhir, tapi juga tentang proses yang harus transparan, jujur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan yang lebih penting, tentang bagaimana kita memperlakukan koreksi: apakah sebagai serangan terhadap diri, atau sebagai cermin untuk menyempurnakan langkah.

Saya memilih yang kedua.

Saya bukan orang yang selalu benar. Bahkan seringkali saya salah menilai waktu, kurang teliti membaca situasi, atau terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Tapi saya ingin terus belajar. Saya ingin tumbuh menjadi pribadi yang bukan hanya bisa bekerja, tapi juga bisa diajak bicara.

Hari ini, saya pulang dengan satu kesadaran baru: bahwa menjaga komunikasi yang sehat di dunia kerja itu butuh dua hal—kerendahan hati untuk menerima masukan, dan keberanian untuk menyampaikan sudut pandang dengan jernih.

Semoga esok lebih baik.

Semoga saya juga lebih bijak.

"Kebenaran adalah cermin yang jatuh dari tangan Tuhan dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut satu keping, dan mengira telah menemukan keseluruhan."

— Jalaluddin Rumi

Rabu, 30 April 2025

MK Larang Pemerintah dan Perusahaan Lapor Pencemaran Nama Baik: Kabar Baik untuk Kebebasan Bersuara

Akhir April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) bikin gebrakan besar. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa hanya orang perorangan yang boleh melaporkan pencemaran nama baik. Artinya, pemerintah, perusahaan, atau lembaga negara nggak bisa lagi bawa-bawa pasal pencemaran nama baik untuk membungkam kritik.

Putusan ini muncul setelah gugatan dari aktivis lingkungan, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang resah karena pasal pencemaran nama baik sering dipakai untuk menekan warga yang vokal. Bayangkan, dulu perusahaan besar atau pejabat bisa dengan mudah melaporkan orang yang mengkritik. Sekarang, jalannya sudah ditutup MK.

Kenapa Penting?

Kebebasan berekspresi di Indonesia memang sering “nyangkut” gara-gara pasal pencemaran nama baik. Aktivis, jurnalis, bahkan warganet biasa pernah berurusan dengan hukum karena mengkritik kebijakan atau perusahaan.

Dengan putusan ini:

  • Warga lebih aman bicara soal kebijakan publik, korupsi, atau isu lingkungan.
  • Perusahaan dan pemerintah tetap bisa klarifikasi, tapi lewat hak jawab atau saluran resmi, bukan dengan laporan pidana.
  • Pengadilan otomatis akan menolak laporan pencemaran nama baik dari badan hukum atau lembaga.

Dasar Hukumnya

MK menegaskan bahwa hak atas nama baik itu hak pribadi. Jadi yang boleh merasa tersinggung dan melapor hanyalah orang, bukan institusi. Putusan ini juga sejalan dengan UUD 1945 Pasal 28E dan 28F, yang menjamin kebebasan berpendapat dan hak atas informasi.

Apa Dampaknya Buat Kita?

Kalau kamu sering bersuara soal isu publik—entah di medsos, blog, atau forum—putusan ini jelas memberi napas lega. Kritik tetap boleh, asal tentu saja tetap berpegang pada etika.

Di sisi lain, bagi pejabat atau korporasi, cara terbaik untuk menanggapi kritik adalah dengan transparansi dan klarifikasi, bukan lagi dengan ancaman hukum.

Putusan MK ini jadi momen penting. Ia mengirim pesan kuat: kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi, dan tidak boleh gampang dipasung hanya karena kritik membuat pihak berkuasa risih.

Sabtu, 15 Maret 2025

Ketika Bayangan Dwifungsi Kembali Menjelma

Hari ini, aku kembali merenungi siaran berita, ditemani secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Di tengah hiruk pikuk kehidupan bernegara, satu keputusan besar dari DPR RI menggema di benakku: pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Sebagai seorang yang pernah kuliah hukum, aku merasa terpanggil untuk mencatatnya. Bukan sekadar sebagai fakta, tetapi sebagai suara kegelisahan.

Revisi itu memperluas peran militer, menambah tugas mereka dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan lebih jauh lagi, memperbesar peluang anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Sekilas, ini mungkin terlihat sebagai bentuk adaptasi atas kebutuhan zaman. Tapi apakah demokrasi kita cukup kokoh untuk menampung perluasan ini tanpa menimbulkan ketimpangan kuasa?

Kekhawatiran banyak pihak ini bukan tanpa dasar. Konsep dwifungsi militer yang pernah kita tinggalkan—dengan susah payah pasca reformasi—kini terasa seperti bayangan yang kembali. Aku teringat kuliah-kuliah konstitusi di mana peran sipil dan militer mesti dibedakan dengan tegas, demi menjaga keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan.

Lebih dari 26.000 orang menandatangani petisi online menolak revisi ini. Itu bukan sekadar angka. Itu adalah suara publik yang khawatir. Suara yang sadar bahwa demokrasi bisa tergerus bukan hanya oleh kekuasaan yang otoriter, tapi juga oleh ketidaksadaran kita dalam membatasi kekuasaan itu sendiri.

Aku percaya hukum adalah penjaga nilai. Tapi siapa yang menjaga hukum ketika ia mulai ditulis dengan arah yang membingungkan? Aku tidak anti militer. Aku hormat pada mereka yang menjaga kedaulatan. Tapi ketika tugas-tugas sipil mulai menjadi bagian dari peran militer secara institusional, aku mulai bertanya: siapa yang akan mengawasi ketika semua fungsi mulai menyatu?

Malam ini, aku menutup catatan harian dengan hati yang belum tenang. Demokrasi kita sedang diuji. Dan sejarah—selalu punya cara untuk mencatat siapa yang berjaga, dan siapa yang terlelap.

Kamis, 13 Februari 2025

Diari Politik: Sidang PHPU Pilkada Madina 2025

Hari ini, 13 Februari 2025, menjadi salah satu hari yang menegangkan dalam perjalanan demokrasi di Mandailing Natal. Aku mengikuti siaran langsung dari Mahkamah Konstitusi di Jakarta, tempat berlangsungnya sidang lanjutan sengketa hasil Pilkada Bupati Mandailing Natal. Rasanya campur aduk—antara harap, cemas, dan penasaran.

Pasangan calon nomor urut 01, Harun Mustafa Nasution dan M. Ichwan Husein NST, menggugat hasil Pilkada. Mereka menyoroti persoalan LHKPN yang diserahkan oleh lawan mereka—pasangan nomor urut 02, Saipullah Nasution dan Atika Azmi Utammi—yang katanya terlambat. Sebuah hal yang bisa jadi sangat teknis, tapi dalam kontestasi politik, bisa berubah menjadi sangat strategis.

Di ruang sidang MK, argumen dan sanggahan saling bersahutan. Tim hukum dari kedua belah pihak mencoba membuktikan kebenaran dari sudut pandang masing-masing. Tapi yang paling ditunggu-tunggu adalah suara palu hakim konstitusi. Dan akhirnya, putusan dibacakan: MK menolak gugatan pasangan 01. Mereka menyatakan bahwa penyerahan LHKPN oleh pasangan 02 sudah sesuai aturan, dan tidak ada pelanggaran substansial dalam proses pencalonan.

Aku menutup laptop dengan pelan. Di balik segala hiruk pikuk dan strategi, ternyata demokrasi masih berjalan lewat jalurnya. Kadang tak memuaskan semua pihak, tapi tetap menjadi jalan tengah yang sahih dalam menyelesaikan sengketa. Bagi rakyat seperti aku, semoga ini bukan sekadar soal siapa menang dan kalah, tapi tentang memastikan bahwa proses tetap adil dan bermartabat.

Hari ini, politik terasa begitu nyata. Bukan sekadar spanduk dan orasi, tapi tentang kepercayaan dan hukum yang sedang diuji. 

Minggu, 26 Januari 2025

Januari yang Sunyi: Catatan tentang Ribuan yang Kehilangan Pekerjaan

Januari 2025 belum juga usai ketika berita itu sampai ke telinga saya—sebanyak 3.325 pekerja kehilangan pekerjaannya bulan ini. DKI Jakarta menjadi penyumbang angka terbesar: 2.650 orang. Sejenak saya terdiam, bukan karena terkejut, tapi karena nyaris terbiasa.

Saya membayangkan pagi hari di rumah-rumah para pekerja itu. Sarapan yang tak lagi tergesa, kerah baju yang tak lagi dirapikan, dan langkah kaki yang kehilangan arah. PHK memang bukan hanya soal statistik; ia adalah cerita tentang mimpi yang ditangguhkan dan dapur yang harus tetap menyala.

Yang membuat hati saya lebih nyeri, angka ini nyaris sama dengan Januari tahun lalu. Seolah-olah, bagi sebagian orang, Januari bukan bulan awal yang penuh harap, tapi bulan perpisahan yang berulang. Apakah kita benar-benar belajar dari waktu ke waktu? Ataukah sistem kita hanya pandai menghitung korban, tapi gagal mencegahnya?

Di antara deretan angka, ada wajah-wajah manusia. Ada ayah yang pulang lebih awal, ibu yang berusaha tersenyum di depan anak-anaknya, dan anak muda yang tiba-tiba kehilangan arah setelah baru saja menggapai impian kecilnya.

Saya menulis ini bukan untuk menawarkan solusi besar. Hanya untuk mengingatkan diri sendiri dan siapa saja yang membaca—bahwa statistik itu nyata, dan di balik setiap angka ada kisah yang layak didengar.

Semoga Februari membawa harapan, bukan berita buruk yang serupa.

Abdul Majid

Rabu, 01 Januari 2025

Langkah Awal di Tahun Baru: Komitmen untuk Logistik Rumah Sakit yang Lebih Baik


Hari ini, saya mencoba untuk penuh semangat dan optimisme memulai tahun baru, terutama setelah menghabiskan waktu merenungkan peran yang saya emban di Unit Logistik Umum Rumah Sakit Umum Permata Madina Panyabungan. Betapa pentingnya keberadaan logistik umum dalam mendukung operasional rumah sakit membuat saya merasa bahwa tanggung jawab ini adalah bagian dari kontribusi saya bagi masyarakat.

Saya memulai hari dengan meninjau draft program kerja Unit Logistik Umum untuk tahun 2025. Program ini disusun berdasarkan evaluasi tahun sebelumnya dan kebutuhan yang terus berkembang. Membaca kembali detailnya, saya semakin memahami bahwa setiap langkah yang diambil harus berorientasi pada efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan. Dalam kepala saya terlintas visi: bagaimana kami dapat mendukung rumah sakit menjadi penyedia layanan kesehatan yang profesional dan terpercaya, dengan pengelolaan logistik yang responsif dan transparan.

Salah satu hal yang menjadi perhatian utama saya hari ini adalah rencana peningkatan manajemen persediaan dan sistem pencatatan. Saya sadar, dengan jumlah pasien yang terus meningkat, tantangan untuk memastikan ketersediaan logistik akan semakin besar. Namun, saya yakin dengan koordinasi lintas unit yang lebih baik, kami bisa mengatasinya.

Selain itu, efisiensi anggaran juga menjadi titik fokus. Kami harus lebih bijak dalam mengelola sumber daya, memastikan tidak ada pemborosan sekaligus menghindari kekurangan stok barang. Dalam pikiran saya, upaya ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memastikan setiap langkah membawa manfaat bagi pasien dan semua pihak yang terlibat. 

Hari ini ditutup dengan refleksi. Saya merasa bersyukur diberi kesempatan untuk terlibat dalam sesuatu yang besar, yang tidak hanya berdampak pada institusi, tetapi juga pada masyarakat luas. Tahun 2025 adalah awal baru yang penuh tantangan, tetapi saya percaya, dengan komitmen dan kerja keras, kami bisa mencapainya.

Semoga semua usaha ini membawa keberkahan dan manfaat.