Awal Agustus 2025, Indonesia dikejutkan dengan langkah besar Presiden Prabowo Subianto. Sebanyak 1.178 narapidana resmi dibebaskan, termasuk tokoh politik macam Hasto Kristiyanto dan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong. Dan ini baru tahap pertama—target besarnya adalah 44.000 tahanan yang akan menikmati program pengampunan.
Langkah ini langsung jadi buah bibir. Ada yang menyebutnya sebagai “politik pemaaf” demi menyatukan bangsa, ada juga yang curiga ini hanya strategi untuk merangkul lawan-lawan politik.
Ada Dasar Hukumnya, Kok
Biar jelas, keputusan ini bukan asal-asalan. Konstitusi Indonesia memang memberi Presiden kewenangan untuk memberi grasi, amnesti, dan abolisi. Itu tertuang di UUD 1945 Pasal 14. Ditambah lagi ada UU Grasi dan UU Pemasyarakatan yang mengatur teknisnya. Jadi, dari sisi hukum, langkah ini sah dan legal.
Apa Untungnya?
Kalau dilihat dari sisi positif, ada beberapa hal yang bisa
jadi nilai plus:
- Politik
adem ayem: Membebaskan tokoh dari kubu yang dulu oposisi bisa bikin
suhu politik turun.
- Kemanusiaan:
Keluarga napi bisa bernafas lega, apalagi di momen 80 tahun kemerdekaan.
- Praktis: Penjara kita sudah penuh sesak. Membebaskan ribuan orang jelas mengurangi beban negara.
Tapi, Kritiknya Nggak Kalah Keras
Di sisi lain, publik juga punya pertanyaan besar:
- Bagaimana
dengan napi korupsi? Kalau mereka ikut bebas, apa nggak
kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi?
- Apakah
ini rekonsiliasi tulus atau sekadar politik balas budi? Publik wajar
curiga, apalagi yang dibebaskan ada tokoh politik besar.
- Efek jangka panjangnya apa? Jangan sampai napi atau politisi ke depan berpikir: “Tenang aja, toh nanti bisa dapat grasi.”
Jadi, Apa Kesimpulannya?
Kebijakan Prabowo ini memang berani. Ia bisa dikenang
sebagai presiden yang berusaha menyatukan bangsa di momen emas 80 tahun
Indonesia merdeka. Tapi ia juga bisa dicatat sebagai pemimpin yang memberi
ruang kompromi untuk elite politik yang pernah bermasalah.
Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah ini rekonsiliasi
tulus, atau justru politik balas budi yang dibungkus kata-kata
manis? Jawabannya ada di tangan publik—dan tentu di langkah Presiden
selanjutnya.

