Hari ini, aku kembali merenungi siaran berita, ditemani secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Di tengah hiruk pikuk kehidupan bernegara, satu keputusan besar dari DPR RI menggema di benakku: pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Sebagai seorang yang pernah kuliah hukum, aku merasa terpanggil untuk mencatatnya. Bukan sekadar sebagai fakta, tetapi sebagai suara kegelisahan.
Revisi itu
memperluas peran militer, menambah tugas mereka dalam Operasi Militer Selain
Perang (OMSP), dan lebih jauh lagi, memperbesar peluang anggota TNI aktif untuk
menduduki jabatan sipil. Sekilas, ini mungkin terlihat sebagai bentuk adaptasi
atas kebutuhan zaman. Tapi apakah demokrasi kita cukup kokoh untuk menampung
perluasan ini tanpa menimbulkan ketimpangan kuasa?
Kekhawatiran banyak pihak ini bukan tanpa dasar. Konsep dwifungsi militer yang pernah kita tinggalkan—dengan
susah payah pasca reformasi—kini terasa seperti bayangan yang kembali. Aku
teringat kuliah-kuliah konstitusi di mana peran sipil dan militer mesti
dibedakan dengan tegas, demi menjaga keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan.
Lebih dari
26.000 orang menandatangani petisi online menolak revisi ini. Itu bukan sekadar
angka. Itu adalah suara publik yang khawatir. Suara yang sadar bahwa demokrasi
bisa tergerus bukan hanya oleh kekuasaan yang otoriter, tapi juga oleh
ketidaksadaran kita dalam membatasi kekuasaan itu sendiri.
Aku percaya hukum adalah penjaga nilai. Tapi siapa yang menjaga
hukum ketika ia mulai ditulis dengan arah yang membingungkan? Aku tidak anti
militer. Aku hormat pada mereka yang menjaga kedaulatan. Tapi ketika
tugas-tugas sipil mulai menjadi bagian dari peran militer secara institusional,
aku mulai bertanya: siapa yang akan mengawasi ketika semua fungsi mulai
menyatu?
Malam ini,
aku menutup catatan harian dengan hati yang belum tenang. Demokrasi kita sedang
diuji. Dan sejarah—selalu punya cara untuk mencatat siapa yang berjaga, dan
siapa yang terlelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar