Senin, 24 Agustus 2020

Secangkir Kopi Menanti Senja

 


Sore ini terasa begitu damai. Duduk di antara hamparan tanaman hijau, aroma tanah bercampur daun-daunan menyatu dengan angin yang lembut. Di hadapanku, secangkir kopi hitam mengepul, hangatnya melawan dinginnya udara yang mulai terasa.

Aku memandang sekitar. Tanaman-tanaman ini, tumbuh dengan subur di dalam polybag yang berbaris rapi. Mereka adalah simbol dari kesederhanaan dan harapan. Kehidupan tumbuh dari tangan-tangan yang penuh cinta. Aku pun teringat bagaimana semuanya dimulai, dari benih kecil yang kemudian menjadi ladang hijau yang hidup ini.

Di kejauhan, matahari mulai turun perlahan, semburat jingga mulai menghiasi langit. Aku menikmati setiap tegukan kopi, membiarkan rasa pahit manisnya menyatu dengan suasana hati yang tenang. Sesekali, angin bertiup, membelai dedaunan dan rambutku. Rasanya, seperti dunia ingin memberiku jeda sejenak dari segala hiruk-pikuk.

Aku bertelanjang kaki di atas tanah, merasakan dinginnya yang menembus. Di bawah sinar senja, semuanya terasa begitu sederhana, begitu dekat dengan alam. Tidak ada suara bising kendaraan, tidak ada dering telepon, hanya ada suara alam dan detak jantungku yang tenang.

Secangkir kopi ini bukan sekadar minuman. Ia adalah teman dalam perenungan, medium untuk mengingat apa yang penting dalam hidup. Aku memikirkan perjalanan, usaha, dan segala yang telah aku lewati. Dalam diam, aku bersyukur.

Senja mulai tenggelam, membawa serta keindahan hari ini. Aku tahu, esok akan datang dengan cerita baru. Namun, sore ini, secangkir kopi dan keheningan alam adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati sering kali terletak pada hal-hal yang sederhana.

Tidak ada komentar: