Adat adalah cermin kehidupan
suatu komunitas, mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Ia bukan sekadar aturan, melainkan nafas hidup, identitas, dan jiwa
sebuah masyarakat. Namun, apa yang terjadi ketika adat, yang sejatinya menjadi
pedoman bersama, diubah atau dimodifikasi oleh para pemangku adat dengan sikap
elitis dan berorientasi pada kekuasaan? Adakah makna adat itu tetap utuh? Atau
ia perlahan menjadi bayangan dari kepentingan segelintir pihak?
Ketika Adat Menjadi Alat
Dalam refleksi ini, muncul
kegelisahan tentang bagaimana sikap elitis dari para pemangku adat dapat
mengubah wajah adat yang kita kenal. Ketika kekuasaan menjadi orientasi, adat
yang semula menjadi milik bersama berubah menjadi alat untuk membangun legitimasi.
Nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi moral masyarakat tergeser
oleh aturan-aturan baru yang berfungsi semata-mata untuk menjaga status quo
atau memperbesar dominasi pihak tertentu.
Perubahan semacam ini menimbulkan
pertanyaan mendalam: apakah adat masih memiliki makna? Apakah ia masih menjadi
pedoman yang adil dan jujur, atau justru menjadi instrumen kekuasaan? Dalam
situasi ini, adat tidak lagi tampil sebagai warisan kolektif, melainkan sebagai
properti eksklusif yang hanya melayani kepentingan segelintir orang.
Adat yang Kehilangan Wajah
Aslinya
Kehilangan orisinalitas adalah
ancaman nyata ketika adat dimodifikasi tanpa akar historis yang jelas. Adat,
yang seharusnya tumbuh dan berkembang secara alami bersama masyarakatnya,
berubah menjadi sesuatu yang asing. Ia kehilangan makna sebagai penjaga
nilai-nilai luhur dan bergeser menjadi konstruksi baru yang tidak lagi akrab
dengan komunitasnya.
Lebih dari itu, ketika pemangku
adat bertindak sepihak tanpa mendengar suara masyarakat, adat yang mereka ubah
kehilangan keabsahannya. Keabsahan adat tidak semata-mata berasal dari pemangku
adat, melainkan dari penerimaan kolektif masyarakat. Jika komunitas tidak lagi
merasa terwakili oleh adat yang dimodifikasi, maka adat itu kehilangan jiwa dan
fungsi sosialnya.
Renungan tentang Masa Depan
Sebagai bagian dari masyarakat
yang hidup di bawah naungan adat, kita perlu merenungkan apa yang terjadi
ketika adat kehilangan orisinalitasnya. Distorsi adat tidak hanya berdampak
pada kehilangan identitas budaya, tetapi juga memecah belah komunitas. Ketika
adat berubah menjadi alat kekuasaan, masyarakat tidak hanya kehilangan panduan
moral, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi adat itu sendiri.
Adat yang semestinya
mempersatukan kini justru menjadi sumber konflik. Mereka yang merasa dilanggar
haknya akan mencari cara untuk melawan, dan pada akhirnya, solidaritas yang
menjadi kekuatan utama komunitas perlahan terkikis. Dalam jangka panjang,
masyarakat bisa kehilangan ikatan mereka dengan adat dan, pada gilirannya,
dengan jati diri mereka sendiri.
Menjaga Adat agar Tetap Bermakna
Dalam perenungan ini, kita
dihadapkan pada tanggung jawab besar: bagaimana menjaga adat agar tetap
bermakna? Adat harus tumbuh secara inklusif, dengan melibatkan semua pihak
dalam proses perubahan. Pemangku adat harus kembali pada nilai-nilai dasar yang
melandasi keberadaan adat itu sendiri—keadilan, kejujuran, dan kebersamaan.
Hanya dengan cara ini, adat dapat
kembali menjadi milik bersama, menjadi cermin yang jernih dari identitas
masyarakat. Adat tidak seharusnya menjadi alat kekuasaan, melainkan wadah yang
menyatukan, melindungi, dan menuntun. Dalam perjalanan ini, refleksi kita harus
selalu berpijak pada pertanyaan mendasar: untuk siapa adat itu dijaga dan
diturunkan?
Adat sejatinya adalah warisan
kolektif, bukan milik segelintir pihak. Mari menjaga adat dengan hati yang
terbuka dan niat yang tulus, agar ia tetap menjadi nafas kehidupan bagi
generasi sekarang dan yang akan datang.