Hari ini, 13 Februari 2025, menjadi salah satu hari yang
menegangkan dalam perjalanan demokrasi di Mandailing Natal. Aku mengikuti
siaran langsung dari Mahkamah Konstitusi di Jakarta, tempat berlangsungnya
sidang lanjutan sengketa hasil Pilkada Bupati Mandailing Natal. Rasanya campur
aduk—antara harap, cemas, dan penasaran.
Pasangan calon nomor urut 01, Harun Mustafa Nasution dan M.
Ichwan Husein NST, menggugat hasil Pilkada. Mereka menyoroti persoalan LHKPN
yang diserahkan oleh lawan mereka—pasangan nomor urut 02, Saipullah Nasution
dan Atika Azmi Utammi—yang katanya terlambat. Sebuah hal yang bisa jadi sangat
teknis, tapi dalam kontestasi politik, bisa berubah menjadi sangat strategis.
Di ruang sidang MK, argumen dan sanggahan saling bersahutan.
Tim hukum dari kedua belah pihak mencoba membuktikan kebenaran dari sudut
pandang masing-masing. Tapi yang paling ditunggu-tunggu adalah suara palu hakim
konstitusi. Dan akhirnya, putusan dibacakan: MK menolak gugatan pasangan 01.
Mereka menyatakan bahwa penyerahan LHKPN oleh pasangan 02 sudah sesuai aturan,
dan tidak ada pelanggaran substansial dalam proses pencalonan.
Aku menutup laptop dengan pelan. Di balik segala hiruk pikuk
dan strategi, ternyata demokrasi masih berjalan lewat jalurnya. Kadang tak memuaskan
semua pihak, tapi tetap menjadi jalan tengah yang sahih dalam menyelesaikan
sengketa. Bagi rakyat seperti aku, semoga ini bukan sekadar soal siapa menang
dan kalah, tapi tentang memastikan bahwa proses tetap adil dan bermartabat.
Hari ini, politik terasa begitu nyata. Bukan sekadar spanduk dan orasi, tapi tentang kepercayaan dan hukum yang sedang diuji.